Kamis, 13 Januari 2011

Menulis Adalah Soal Keberanian

Saya pelototi tulisan yang ada di kaos oblong hitam bergambar muka Pramoedya Ananta Toer (Pram), "Menulis Adalah Soal Keberanian." Kuat sekali kalimat itu. Padahal, itu cuma sepenggal kalimat. Sebatas sablonan di kaos yang saya beli pada akhir 2003. Kaosnya pun sudah belel, warna hitamnya pudar, dan ukurannya juga mulai sempit kalau saya pakai. Tapi, saya senang dengan kaos itu. Punya kekuatan yang mampu membangkitkan hidup saya.

Pram adalah tokoh nyata dalam kehidupan bangsa ini. Seorang yang lebih dari setengah hidupnya dihabiskan dalam hukuman negara. dari jaman penjajah sampai negara ini merdeka. Tudingannya macam-macam. Tapi pada intinya, dia stigma sebagai pemberontak rejim yang berkuasa.

Pram hanya menulis. Tidak korupsi atau menjadi teroris. Pram hanya menyuarakan apa yang dipahaminya sebagai nilai-nilai selayaknya sebagai manusia dan itu harus ditegakkan dalam kehidupan. Sebutan revolusioner, sosialis, komunis terhadapnya cuma stigma yang dicitrakan kepadanya.

Pram menulis dengan nurani yang berpihak kepada orang-orang kelas bawah. Dengan memandang manusia adalah sebagai das ding an sich yang berdiri sendiri. Manusia adalah makhluk otonom. Maka dari itu, nasibnya ditentukan oleh sepak terjangnya sendiri. Ending kehidupannya ditetapkan oleh jejak langkahnya. Tema tulisan seperti itulah yang ternyata berseberangan dengan apa yang diinginkan penguasa. Sebab, penguasa selalu ingin berperan menjadi determinan atas yang dikuasai. Maka dari itu, ketika kaum yang terdeterminasi dibela, eksistensi penguasa pun menjadi terancam. Hukuman bagi sang pembela itulah jalan yang pas bagi penguasa untuk menghentikan langkah-langkah musuhnya.

Setidaknya, menulis memang menjadi sebuah senjata yang mematikan untuk orang yang mampu memanfaatkannya. Mata Pena memang lebih tajam dari pada Mata Pedang. Maka dari itu, masuk akal jika pram menyebutkan bahwa menulis adalah soal keberanian. Berani untuk memainkan mata pena yang tajamnya bisa melebihi mata pedang.

Sekarang, saya mengalami sendiri ketajaman mata pena itu. Saya menulis sejak belajar jurnalistik saat kuliah dulu. Otodidak memang, tapi yang penting bisa menulis. Hasilnya lumayan. Dari menulis di koran saja bisa untuk menyambung hidup sendirian. Saya berdoa supaya bisa mendapat pekerjaan tetap yang sumber penghasilannya didapat dari cara menulis. Dan Tuhan tampaknya tidak tidur. Doa saya sepertinya didengar, dan jadilah saya seorang peneliti jalanan.

Peneliti tugasnya meneliti. Tapi yang lebih penting lagi, mempublikasikan hasil penelitiannya kepada publik. Itu sebuah keharusan. Peneliti yang berstatus 'asset negara' tentunya melakukan penelitian dengan dibiayai uang rakyat. Maka dari itu, akses publik untuk memperoleh informasi dari hasil yang diteliti merupakan sesuatu yang lumrah dan harus. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti yang sudah menggunakan uang rakyat untuk melakukan pekerjaannya. Di samping itu, hidup mati berkarir sebagai peneliti juga ditentukan oleh publikasi tulisannya.

Berangkat dari kesadaran seperti itu, saya mulai menulis tulisan tulisan ilmiah dari hasil penelitian yang saya lakukan untuk diterbitkan pada media publikasi ilmiah. Saya melakukannya dengan tanpa beban. Justru saya merasa bersyukur, hobi dan kebisaan saya itu bisa menunjang karir dan pekerjaan saya. Selain itu, bisa juga membuka mata publik, bahwa temuan-temuan baru yang ilmiah tentang satu fenomena bisa dinikmati secara gamblang oleh publik. Selama empat tahun bekerja, saya mencatat ada 15 tulisan yang sudah saya publikasikan. Dan itu semuanya merupakan tulisan hasil penelitian dan pencurahan ide saya untuk direkomendasikan kepada publik pemakai. Saya tidak terlalu pusing dengan imbalan honor seperti pada saat menulis ketika kuliah dulu. Saya sudah digaji, tapi saya juga mau menulis.

Persoalanya kemudian, apakah menulis itu masih perlu dikekang?
Egoisme dalam menulis sebenarnya dibutuhkan, meski dalam porsi yang tidak banyak. Jika tidak egois sedikit saja, maka kita tidak akan punya trade mark sebagai penulis. Peneliti bagi saya adalah seorang penulis. Untuk bisa dikenal, idealnya peneliti haruslah menulis. Peneliti dikenal orang secara ideal ya dari tulisan tulisannya. Bukan karena sering kongkow atau menghadiri acara-acara ilmiah yang disitu hanya sebagai peserta saja, dan melobi broker dan meneer meneer kaya untuk mengajukan proposal.

Bagi saya, peneliti haruslah bertanggungjawab terhadap kinerjanya secara mandiri dengan membuat tulisan yang bertujuan agar publik bisa mengakses informasi ilmiah terbaru. Alangkah naifnya, peneliti tidak pernah mempublikasikan laporannya dalam bentuk tulisan ilmiah atau esai di berbagai media. Itu tak lain sama halnya tidak berterimakasih kepada publik / rakyat yang sudah memberikan uangnya untuk penelitian.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Hari Konservasi Nasional di Kupang 2


Sepekan Pasca Perayaan Hari Konservasi Alam Nasional:
Nasib Para Nyamplung di Pantai Lasiana

Sepekan kurang dua hari, pasca peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di Pantai Lasiana Kupang pada 27 September 2010, kondisi tanaman nyamplung yang ditanam kini memprihatinkan. Kiranya predikisi saya tidak jauh dari perkiraan. Nyamplung akan mati lemas karena kepanasan, terkena ganasnya angin laut, dan tidak ada perawatan secara intensif dari pihak terkait. Beberapa gambar ini adalah photo yang saya ambil tadi pagi, Sabtu, 2 Oktober 2010, atau dua hari menjelang sepekan pasca perayaan Hari Konservasi Alam Nasional di Pantai Lasiana, Kupang.


Gambar 1.
Kondisi Nyamplung yang dibiarkan terbuka, tanpa ada upaya perlindungan dari hempasan angin laut dan tangan-tangan jahil pengunjung pantai. Hanya satu saja yang tampak dipagari secara alakadarnya, dan kemungkinan besar itu dilakukan berdasarkan inisiatif sang penanam.














Gambar 2.
Nyamplung yang sudah mengering, dan tidak terlindung sama sekali. Gambar pada foto ini adalah tanaman Nyamplung yang ditanam oleh jajaran pejabat.
















Gambar 3.

Nyamplung yang sudah layu, dan beranjak kering. Kemungkinan besar, seminggu kemudian, daun kering yang berada di bawah pohon ini akan semakin banyak. Dan yang tersisa hanya batang pohon dan ajir yang kering.














Tanpa berpertensi apa-apa, gambar ini di unggah untuk mengingatkan kita semua, bahwa penanaman pohon janganlah sekadar jargon seremonial saja. Akan tetapi, yang terpenting adalah upaya untuk memelihara dan menjaganya. Niat dan aksi seremonial saja tidak cukup untuk mengembalikan bumi ini dari bencana perubahan iklim dan pemanasan global. Upaya pemeliharaan secara terus-menerus adalah kuncinya. Pada konteks ini, kiranya berlaku slogan... Manusia yang memulai, manusia pula yang menentukan nasibnya.

Salam Pembebasan Bumi dari Perubahan Iklim

In God We Trust

Rabu, 29 September 2010

Hari Konservasi Nasional di Kupang

Tempatkan Kata Konservasi itu Pada Tempatnya

Saya tidak mau berdebat banyak soal kata, term, atau istilah tentang konservasi. Perdebatan itu hanya membuat kita bingung. Tak pelak, jika terlalu lama berdebat, waktu akan terbuang sia-sia dan pekerjaan kemudian menjadi menumpuk. Saya cuma mau berbagi soal perayaan, tepatnya peringatan Hari Konservasi Nasional yang dilakukan di Pantai Lasiana Kupang, pada senin 27 September 2010.

Ternyata, banyak di antara teman-teman yang tidak tahu, kalau hari Konservasi Nasional itu jatuh pada tanggal 28 September. Dengan sedikit meminta maaf, saya pun juga termasuk di antara teman-teman yang tidak tahu itu. Maka dari itu, ketika disebar pengumuman pada jumat 24 September perihal untuk menghadiri peringatan hari konservasi nasional itu, banyak di antara kami yang menggerutu, tidak siap, dan berbagai alasan lainnya.

Lepas dari kejadian itu, peringatan Hari Konservasi Nasional yang mengusung tema "Melalui hari konservasi nasional, kita sukseskan mitigasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati di bumi flobamora" itu dilakukan lumayan hikmat. Inti acara adalah pelepasan ratusan anakan penyu hijau (habitat asalnya dari Manipo) ke laut dan penanaman pohon nyamplung di sepanjang tanggul penahan ombak Pantai Lasiana. Kedua aktivitas itu tentu dicocok-cocokkan dengan tema kegiatan. Pelepasan penyu menyimbolkan pelestarian keanekaragaman hayati, sedangan penanaman nyamplung dikaitkan dengan upaya mitigasi perubahan iklim yang sedang trendy itu.



Namun sesaat setelah acara berlangsung, saya berpikir. Apakah penyu yang sudah berlarian menuju laut lepas tersebut akan aman dan hidup dengan bebasnya? Sambil berpikir, saya melihat dengan miris, lepas seratus meter dari bibir pantai terdapat bagan-bagan nelayan yang dibuat sebagai rumah terapung di atas laut untuk memudahkan menjaring ikan. Bagan itu jumlahnya puluhan. Nelayan setempat memanfaatkannya untuk meraup teri dan ikan kecil lainnya yang nasibnya kurang beruntung saat lewat di atas jaring tangkapan sang nelayan.

Di sisi lain, sekitar 150 meter dari tempat pelepasan penyu, tampak tiga orang sedang asyik masyuk memancing di pantai. Saat saya perhatikan, sesekali mereka melirik ke arah orang-orang yang bersukaria membuang penyu ke laut. Pikiran nakal saya menggelitik mulut ini, saya bergumam, "lihat saja, seminggu kemudian, di sepanjang jalan raya Lasiana akan banyak dikerubungi anak SD yang ingin jajan penyu imut-imut hasil tangkapan sang nelayan, lumayan kan, buat mainan."

Pantai Lasiana adalah tempat wisata. Awal saya bekerja di Kupang, hampir setiap satu kali dalam seminggu bermain bola di tempat ini. Kalau hari minggu, terkadang saya ajak anak dan istri untuk sarapan pagi sambil berpiknik di sini. Banyak pula orang-orang yang berekreasi sambil bermain voly pantai. Namanya orang mau senang-senang, apa saja akan mereka lakukan. Lari sana lari sini, injak sana injak sini, buang sana buang sini, dan terakhir, vandalisme, coret sana coret sini.

Saya jadi tidak yakin, kalau nyamplung yang ditanam akan bisa hidup dan tumbuh menjadi pelindung pantai dari abrasi air laut. Alih-alih tumbuh, nyamplung itu akan mati terinjak-injak wisatawan domestik yang brutal, atau loyo kecapekan terhempas angin. Belum lagi tingkah anak kecil, yang senang mencabuti tanaman yang baru saja tumbuh.


Solusinya Mungkin Seperti Ini
Untuk menjaga penyu, sepertinya harus ada yang mengingatkan para nelayan itu, supaya tidak mengambil penyu, atau melepaskan kembali penyu yang tersangkut pada jaring mereka saat mengambil ikan. Perlu dicuci otak para nelayan itu dengan mitos, bahwa pantai yang ada penyu nya akan mendatangkan rejeki bagi penduduk setempat. Mitos itu harus didukung dengan logika rasional. Istri nelayan itu banyak pula yang berjualan di pantai. Mereka akan mendapatkan untung lebih besar dari sebelum ada penyu di pantai itu, karena pengunjung akan bertambah banyak. Pengunjung tidak cuma mau berenang, main bola, atau voly, tapi mereka mau lihat penyu.

Pohon nyamplung yang ditanam akan lebih baik, jika dirawat secara berkala dan diberi perlindungan sungkup/dipagari keliling sekitar anakan pohon. Perlindungan itu akan memperkuat akar dan membuatnya tumbuh lebih cepat karena terlindung dari gangguan angin laut yang ganas. Perawatan nyamplung harus dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Pemerintah mengirimkan tenaga yang menrawat pohon itu setiap satu minggu sekali. Sedangkan masyarakat, harus diberitahu manfaat nyamplung sebagai pohon penghasil bioetanol atau biodiesel yang pada kemudian hari akan menjadi mahal harganya. Dengan iming-iming itu, masyarakat akan sukacita dengan sendirinya menjaga nyamplung, asalkan sudah diberi tahu diawal perihal bagi hasil yang akan di lakukan jika pohon itu hendak dipanen.

Persoalan utamanya sekarang, dengan solusi semacam itu, saya tampilkan dalam bentuk pertanyaan. Apakah pemerintah dan masyarakat saat ini sudah menempatkan kata Konservasi itu pada tempatnya? Dalam arti, apakah pemerintah dan masyarakat sudah sadar akan pentingnya upaya yang dilakukan pada peringatan hari konservasi itu?

Saya tidak berani menjamin kalau penyu dan nyamplung akan mampu bertahan hidup di tengah-tengah riuh rendah manusia yang berekreasi. Saya cuma berpikir, seandainya setiap orang paham dengan apa yang dimaksud dari kata konservasi, tentu semuanya akan baik-baik saja.

In God We Trust

Kamis, 23 September 2010

Philosophia 2


Pertempuran Paradigmatik


"Eureka....!"
Teriakan Archimedes itu muncul lagi dalam ingatan saya. Ketika itu, saya sedang terpana, melihat bulan yang memantulkan sinar matahari secara sempurna. Malam jadi tidak hitam seperti layar monitor yang tak berlistrik. Apa hubungannya, Eureka
Archimedes dengan bulan yang mahasempurna?

Saya tidak melihat bulan sebagai entitas senyatanya. Saya melihat bulan sebagai sesuatu yang lain. Semacam kumpulan ilham yang dikirimkan Tuhan dari langit. Tampaknya, malam itu malaikat petugas penyampai ilham menjelma menjadi bulan yang terang benderang.

Apa yang saya pikirkan adalah soal perseteruan paradigmatik, antara Timber Based Forest Management versus Community Based Forest Management. Untuk gampangnya, yang pertama kita sebut saja sebagai TBF, dan yang kedua CBF.

Pemicunya adalah sebuah thesis yang saya baca dan saya dapat dari seorang temans. Thesis itu memang menarik. Dalam thesisnya, dia menuliskan bahwa paradigma forester saat ini tidak lebih hanya sebuah lembaran lama yang dikemas dalam bahasa yang baru. Tidak ada perubahan (changing) paradigma, yang ada hanya pergeseran (shifting).

TBF merupakan paradigma yang dipakai negara ini dalam mengelola hutan ketika rezim orde baru berkuasa. TBF menjadikan hutan sebagai entitas yang tidak boleh disentuh publik. Siapa publik yang dimaksud? Publik bisa diartikan sebagai rakyat, yang di dalamnya terdapat masyarakat dan pengusaha. Okelah, selanjutnya bisa saja kita masukkan ke dalam triad (segi tiga) aktor yang sering disebut-sebut dalam pengelolaan hutan: Negara, Masyarakat, Pengusaha.

Kenapa TBF bisa menjadi paradigma yang mapan? Mau tak mau, kita harus ngomong politik di sini. Kemapanan sebuah ideologi atau sebut saja paradigma terjadi karena kehebatan lobi-lobi dari kelompok penganut paradigma tersebut dalam mempengaruhi sistem dan pemerintah. Ketika struktur dalam sistem pemerintahan mampu di isi oleh orang2 dari kelompok tersebut, dan dengan kehebatan lobi-lobinya, maka dia akan menjadi paradigma mainstream dan kemudian meluas menjadi mapan.

Simpul utama dari kemapanan TBF secara paradigmatik berasal dari institusi-institusi kampus yang para pengajarnya menganut mashab yang sama, Scientific Forestry, sebuah barang taken for granted keluaran ilmuwan Jerman. Konsep scientific forestry memang layak menjadi guide line di negara maju dalam mengelola hutan. Asumsi dasarnya adalah, hutan merupakan entitas tunggal yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, dan negara menjadi organisasi yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaannya. Dengan kata lain, hutan harus steril dari orang-orang yang tak berkepentingan.

Jika kita lihat, ketika negara ini menerapkan TBF, maka banyak sekali pihak yang dikecewakan. Realitas absolut mengatakan, di sini, hutan merupakan sebuah anugerah dari Tuhan, yang diwarisi secara turun temurun oleh nenek moyang. Dari sinilah, hutan lebih dipandang sebagai entitas yang hidup bersamaan, antara manusia, hewan, tumbuhan, yang saling bersimbiosis mutualisme di dalamnya. Dalam bahasa intelek, kita sering menyebutnya dengan istilah fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Apakah ada yang salah dengan TBF?

Realitas tersebut tentu sudah menjawab pertanyaan itu dengan sendirinya. TBF tidak cocok diterapkan di negara ini. Terlalu banyak orang yang akan terusir dan kelaparan karena tidak bisa makan lagi dari hutan. Jika direlokasi, terlalu besar pula biaya sosial, ekonomi, dan psikologisnya. Di sisi lain, pengusiran demi penerapan sebuah paradigma, merupakan tindakan kekerasan yang terselubung. Negara hanya akan menjadi sebuah mesin penggilas bagi rakyatnya. Negara menjadi pencipta tragedi di negerinya sendiri.

Pada titik inilah, CBF lahir di sini, di negara ini. Sebuah konsep paradigma yang sepertinya mengandung bahasa-bahasa sangat manusiawi dalam mengelola hutan. CBF dinilai sebagai jawaban atas antisipasi dan penetralisir konflik negara dengan rakyatnya. Apakah CBF sudah diterapkan secara nyata?

Ramai-ramai digembar-gemborkan sekitar 3 dekade yang lalu, CBF seolah menjadi satria piningit atau ratu adil bagi rakyat yang merasa dan pernah tertindas oleh paradigma TBF. Negara pun mengakomodasinya pada satu dekade kemudian sebagai model pengelolaan hutan. Mata kuliah berbau kerakyatan, sosial, kemanusiaan, human interest, muncul disodorkan ke bangku kuliah oleh institusi-institusi pendidikan. Tampaknya, upaya itu adalah alternatif yang dipakai untuk menjadikan negara menjadi bermuka ramah.

Perbaikan itu tidak berjalan dengan semestinya. Secara metodologis, alat, tools, atau perangkat keras yang disediakan negara untuk menerapkan CBF memang sudah maksimal. Tapi, nyata-nyata ada yang terlewat. Negara melupakan, bahwa para pengajar di institusi pendidikan itu masih bermuka lama. Mereka adalah orang-orang pandai dan sangat setia dengan TBF. Wal hasil, metodologi tersebut hanya menjadi macan kertas, yang tertulis dan terbaca oleh mahasiswa sebagai uraian soal-soal yang diujikan demi perolehan nilai indeks prestasi.

Dalam praktiknya, paradigma TBF tersosialisasi secara halus ke mahasiswa tersebut. Kita tidak menyadarinya, kelak, para mahasiswa itu akan menjadi pengelola hutan pula di negeri ini. Maka, yang terjadi tetaplah TBF. Temans dalam thesisnya di atas, menyebutnya sebagai paradigma TBF jilid dua, yang diberi nama: Community Based Forest Management. Di mana, pengelolaan hutan masih terpusat oleh pemerintah, dan masyarakat di dalam dan disekitar hutan hanya di lihat sebagai realitas yang cateris paribus.

Saya kembali menatap bulan. Kali ini bulan itu tertutup awan. Cahaya di sekitar saya menjadi redup. Angin dingin bertiup menjadikan pori-pori merapat. Saya merinding. Menuju ke peraduan, saya berusaha menggapai kata itu, kata milik Archimedes, yang sekarang menjadi milik orang-orang yang bebas berpikir.
"Eureka...!"

Rabu, 22 September 2010

Philosophia


Negasi Mimpi Yang Tak Adil

Semalam saya mimpi, dapat undian berhadiah televisi berwarna 50" lengkap dengan soundsystem sebesar meja makan. Deg degan rasanya mendengar nama dipanggil sang pengundi, supaya diri saya naik ke atas panggung untuk menerima hadiah itu. Lucunya, hadia diberikan tidak secara simbolik, tapi langsung dalam bentuk barang yang sebenarnya.

Saya jadi kebingungan untuk menerimanya. terlebih lagi, pas saya berpikir untuk membawanya pulang ke rumah, saya bingung. Soalnya saya hanya membawa motor mio soul yang mungkin cuma muat kabel-kabel televisi dan soundsistem hadiah itu saja kalau mau dibawa. Kesenangan itu menjadi sebuah petaka buat saya. Karena saya merasa sulit untuk membawa hadiah itu pulang ke rumah.

Saat berpikir keras dan berusaha mengatasi kebingunan, saya tiba-tiba terbangun. Realitas absurd itu hilang dan nyawa saya seolah melompat ke realitas yang sesunggunya. Ada cahaya terang dari samping kanan kamar saya. Ternyata itu cahaya matahari. Saya lihat jam di handphone, alamak... sudah jam setenga delapan pagi.

Itulah mimpi saya. Saya ceritakan mimpi itu di Facebook. Responnya tidak sebagus yang saya bayangkan. Hanya seorang teman jauh saja yang berkomentar. "aminin aja gan, mudah-mudahan tivinya jadi milik" katanya mengomentari status saya di facebook itu.

Tak dinyana, tiba di kantor, saya menjadi most wanted person. Saya diminta menghadap si empunya jabatan tertinggi di kantor. Saya ditegur (lebih tepatnya dimarahi) karena saya dinilai malas untuk datang pagi. Tapi saya tak mengamini marahannya. Soalnya adalah, baru kali itu saya apes, ketangkap basah datang lewat dari jam 9.00 pagi. Biasanya saya ngantor jam 8.00 atau sebelumnya. Mungkin ada alasan lain, sehingga beliau memarahi saya. Dendam kesumat, sebel, atau saya dinilai nyeleneh di mata dia. Tapi biar lah. Toh apa yang dia tuduhkan saat memarahi saya memang sebuah fakta. Untuk kasus hari itu, saya terima dengan lapang, saya salah.

Tapi tuduhan bahwa saya tidak bisa datang lebih pagi dari jam 8.00 untuk bekerja di kantor adalah salah tempat. Saya mengelak dari tuduhan itu. Saya bilang, "saya setiap hari datang paling lambat jam 8.00" kata saya. Karena memang ruangan saya di bagian belakang kantor, saya seperti luput dari pantauan dia. Nah, kalau mau fair, kenapa tidak semua pegawai diperlakukan sama. Banyak pegawai, selain saya, yang hampir setiap hari masuk lewat dari jam 10.00, dan bahkan bolos, tapi tidak dapat teguran.

Saya cuma peneliti jalanan, yang tidak punya kekuatan secara politik untuk mempengaruhi kebijakan. Yang ada di kepala saya hanyalah berkarya dan berkarya. Persetan dengan politik jabatan dan pangkat, yang biasanya dipakai hanya untuk menganiaya orang lain, dan membanggakan dirinya sendiri. Audjubillah minjalik.... Meski beberapa teman, peneliti juga, saya berani prediksi kalau mereka ada yang bermain di jalur itu. Sebisa mungkin, saya menghindarinya sebagaimana saya menghindari api yang menyala ketika saya membalikkan ikan bakar.

Di sisi lain, perbaikan kinerja akan lebih mengena kepada sasaran kalau sistem lembut (soft sistem) seperti soal kebijakan dan aturan diberlakukan dengan jelas. Setelah itu, dibuktikan pula contoh konkret dari pimpinan secara menyeluruh. Baru setelah itu, prajurit akan mengamininya dan menjaganya sampai kiamat. Ini, belum apa-apa sudah marah-marah, padahal dirinya sendiri bilang, nantinya ke depan, kantor akan didisiplinkan maksimal, absen akan ditarik sebelum jam 8.00 pagi. Jadi jangan main-main, katanya.

Yah, itukan nanti, akan, ke depan, sekarang kan belum. Dan kenapa saya yang kena semprot.
Saya cuma ketangkap basah saat itu saja. Dia tidak lihat saya secara menyeluruh. Mungkin karena saya tidak terlalu banyak memberi UPETI sehingga saya menjadi bulan-bulanan layaknya pencopet tertangkap tangan.

Hah... saya cuma menafsir, kalau realitas ini adalah konsekuensi atas negasi dari mimpi dapat hadiah televisi berwarna dan soundsistemnya. Lain kali, kalau saya, atau anda, atau teman anda, bermimpi mendapatkan hadiah yang lebih besar lagi, maka siap-siaplah kena apes sesaat setelah bangun dari mimpi itu. hahaha... Memang agak mitis dan irrasional. Tapi inilah realitas. Faktual. Truth. Silakan anda mencernanya dengan pikiran terbuka.

salam pembebasan.
In God We Trust