Rabu, 29 September 2010

Hari Konservasi Nasional di Kupang

Tempatkan Kata Konservasi itu Pada Tempatnya

Saya tidak mau berdebat banyak soal kata, term, atau istilah tentang konservasi. Perdebatan itu hanya membuat kita bingung. Tak pelak, jika terlalu lama berdebat, waktu akan terbuang sia-sia dan pekerjaan kemudian menjadi menumpuk. Saya cuma mau berbagi soal perayaan, tepatnya peringatan Hari Konservasi Nasional yang dilakukan di Pantai Lasiana Kupang, pada senin 27 September 2010.

Ternyata, banyak di antara teman-teman yang tidak tahu, kalau hari Konservasi Nasional itu jatuh pada tanggal 28 September. Dengan sedikit meminta maaf, saya pun juga termasuk di antara teman-teman yang tidak tahu itu. Maka dari itu, ketika disebar pengumuman pada jumat 24 September perihal untuk menghadiri peringatan hari konservasi nasional itu, banyak di antara kami yang menggerutu, tidak siap, dan berbagai alasan lainnya.

Lepas dari kejadian itu, peringatan Hari Konservasi Nasional yang mengusung tema "Melalui hari konservasi nasional, kita sukseskan mitigasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati di bumi flobamora" itu dilakukan lumayan hikmat. Inti acara adalah pelepasan ratusan anakan penyu hijau (habitat asalnya dari Manipo) ke laut dan penanaman pohon nyamplung di sepanjang tanggul penahan ombak Pantai Lasiana. Kedua aktivitas itu tentu dicocok-cocokkan dengan tema kegiatan. Pelepasan penyu menyimbolkan pelestarian keanekaragaman hayati, sedangan penanaman nyamplung dikaitkan dengan upaya mitigasi perubahan iklim yang sedang trendy itu.



Namun sesaat setelah acara berlangsung, saya berpikir. Apakah penyu yang sudah berlarian menuju laut lepas tersebut akan aman dan hidup dengan bebasnya? Sambil berpikir, saya melihat dengan miris, lepas seratus meter dari bibir pantai terdapat bagan-bagan nelayan yang dibuat sebagai rumah terapung di atas laut untuk memudahkan menjaring ikan. Bagan itu jumlahnya puluhan. Nelayan setempat memanfaatkannya untuk meraup teri dan ikan kecil lainnya yang nasibnya kurang beruntung saat lewat di atas jaring tangkapan sang nelayan.

Di sisi lain, sekitar 150 meter dari tempat pelepasan penyu, tampak tiga orang sedang asyik masyuk memancing di pantai. Saat saya perhatikan, sesekali mereka melirik ke arah orang-orang yang bersukaria membuang penyu ke laut. Pikiran nakal saya menggelitik mulut ini, saya bergumam, "lihat saja, seminggu kemudian, di sepanjang jalan raya Lasiana akan banyak dikerubungi anak SD yang ingin jajan penyu imut-imut hasil tangkapan sang nelayan, lumayan kan, buat mainan."

Pantai Lasiana adalah tempat wisata. Awal saya bekerja di Kupang, hampir setiap satu kali dalam seminggu bermain bola di tempat ini. Kalau hari minggu, terkadang saya ajak anak dan istri untuk sarapan pagi sambil berpiknik di sini. Banyak pula orang-orang yang berekreasi sambil bermain voly pantai. Namanya orang mau senang-senang, apa saja akan mereka lakukan. Lari sana lari sini, injak sana injak sini, buang sana buang sini, dan terakhir, vandalisme, coret sana coret sini.

Saya jadi tidak yakin, kalau nyamplung yang ditanam akan bisa hidup dan tumbuh menjadi pelindung pantai dari abrasi air laut. Alih-alih tumbuh, nyamplung itu akan mati terinjak-injak wisatawan domestik yang brutal, atau loyo kecapekan terhempas angin. Belum lagi tingkah anak kecil, yang senang mencabuti tanaman yang baru saja tumbuh.


Solusinya Mungkin Seperti Ini
Untuk menjaga penyu, sepertinya harus ada yang mengingatkan para nelayan itu, supaya tidak mengambil penyu, atau melepaskan kembali penyu yang tersangkut pada jaring mereka saat mengambil ikan. Perlu dicuci otak para nelayan itu dengan mitos, bahwa pantai yang ada penyu nya akan mendatangkan rejeki bagi penduduk setempat. Mitos itu harus didukung dengan logika rasional. Istri nelayan itu banyak pula yang berjualan di pantai. Mereka akan mendapatkan untung lebih besar dari sebelum ada penyu di pantai itu, karena pengunjung akan bertambah banyak. Pengunjung tidak cuma mau berenang, main bola, atau voly, tapi mereka mau lihat penyu.

Pohon nyamplung yang ditanam akan lebih baik, jika dirawat secara berkala dan diberi perlindungan sungkup/dipagari keliling sekitar anakan pohon. Perlindungan itu akan memperkuat akar dan membuatnya tumbuh lebih cepat karena terlindung dari gangguan angin laut yang ganas. Perawatan nyamplung harus dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Pemerintah mengirimkan tenaga yang menrawat pohon itu setiap satu minggu sekali. Sedangkan masyarakat, harus diberitahu manfaat nyamplung sebagai pohon penghasil bioetanol atau biodiesel yang pada kemudian hari akan menjadi mahal harganya. Dengan iming-iming itu, masyarakat akan sukacita dengan sendirinya menjaga nyamplung, asalkan sudah diberi tahu diawal perihal bagi hasil yang akan di lakukan jika pohon itu hendak dipanen.

Persoalan utamanya sekarang, dengan solusi semacam itu, saya tampilkan dalam bentuk pertanyaan. Apakah pemerintah dan masyarakat saat ini sudah menempatkan kata Konservasi itu pada tempatnya? Dalam arti, apakah pemerintah dan masyarakat sudah sadar akan pentingnya upaya yang dilakukan pada peringatan hari konservasi itu?

Saya tidak berani menjamin kalau penyu dan nyamplung akan mampu bertahan hidup di tengah-tengah riuh rendah manusia yang berekreasi. Saya cuma berpikir, seandainya setiap orang paham dengan apa yang dimaksud dari kata konservasi, tentu semuanya akan baik-baik saja.

In God We Trust

Kamis, 23 September 2010

Philosophia 2


Pertempuran Paradigmatik


"Eureka....!"
Teriakan Archimedes itu muncul lagi dalam ingatan saya. Ketika itu, saya sedang terpana, melihat bulan yang memantulkan sinar matahari secara sempurna. Malam jadi tidak hitam seperti layar monitor yang tak berlistrik. Apa hubungannya, Eureka
Archimedes dengan bulan yang mahasempurna?

Saya tidak melihat bulan sebagai entitas senyatanya. Saya melihat bulan sebagai sesuatu yang lain. Semacam kumpulan ilham yang dikirimkan Tuhan dari langit. Tampaknya, malam itu malaikat petugas penyampai ilham menjelma menjadi bulan yang terang benderang.

Apa yang saya pikirkan adalah soal perseteruan paradigmatik, antara Timber Based Forest Management versus Community Based Forest Management. Untuk gampangnya, yang pertama kita sebut saja sebagai TBF, dan yang kedua CBF.

Pemicunya adalah sebuah thesis yang saya baca dan saya dapat dari seorang temans. Thesis itu memang menarik. Dalam thesisnya, dia menuliskan bahwa paradigma forester saat ini tidak lebih hanya sebuah lembaran lama yang dikemas dalam bahasa yang baru. Tidak ada perubahan (changing) paradigma, yang ada hanya pergeseran (shifting).

TBF merupakan paradigma yang dipakai negara ini dalam mengelola hutan ketika rezim orde baru berkuasa. TBF menjadikan hutan sebagai entitas yang tidak boleh disentuh publik. Siapa publik yang dimaksud? Publik bisa diartikan sebagai rakyat, yang di dalamnya terdapat masyarakat dan pengusaha. Okelah, selanjutnya bisa saja kita masukkan ke dalam triad (segi tiga) aktor yang sering disebut-sebut dalam pengelolaan hutan: Negara, Masyarakat, Pengusaha.

Kenapa TBF bisa menjadi paradigma yang mapan? Mau tak mau, kita harus ngomong politik di sini. Kemapanan sebuah ideologi atau sebut saja paradigma terjadi karena kehebatan lobi-lobi dari kelompok penganut paradigma tersebut dalam mempengaruhi sistem dan pemerintah. Ketika struktur dalam sistem pemerintahan mampu di isi oleh orang2 dari kelompok tersebut, dan dengan kehebatan lobi-lobinya, maka dia akan menjadi paradigma mainstream dan kemudian meluas menjadi mapan.

Simpul utama dari kemapanan TBF secara paradigmatik berasal dari institusi-institusi kampus yang para pengajarnya menganut mashab yang sama, Scientific Forestry, sebuah barang taken for granted keluaran ilmuwan Jerman. Konsep scientific forestry memang layak menjadi guide line di negara maju dalam mengelola hutan. Asumsi dasarnya adalah, hutan merupakan entitas tunggal yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, dan negara menjadi organisasi yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaannya. Dengan kata lain, hutan harus steril dari orang-orang yang tak berkepentingan.

Jika kita lihat, ketika negara ini menerapkan TBF, maka banyak sekali pihak yang dikecewakan. Realitas absolut mengatakan, di sini, hutan merupakan sebuah anugerah dari Tuhan, yang diwarisi secara turun temurun oleh nenek moyang. Dari sinilah, hutan lebih dipandang sebagai entitas yang hidup bersamaan, antara manusia, hewan, tumbuhan, yang saling bersimbiosis mutualisme di dalamnya. Dalam bahasa intelek, kita sering menyebutnya dengan istilah fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Apakah ada yang salah dengan TBF?

Realitas tersebut tentu sudah menjawab pertanyaan itu dengan sendirinya. TBF tidak cocok diterapkan di negara ini. Terlalu banyak orang yang akan terusir dan kelaparan karena tidak bisa makan lagi dari hutan. Jika direlokasi, terlalu besar pula biaya sosial, ekonomi, dan psikologisnya. Di sisi lain, pengusiran demi penerapan sebuah paradigma, merupakan tindakan kekerasan yang terselubung. Negara hanya akan menjadi sebuah mesin penggilas bagi rakyatnya. Negara menjadi pencipta tragedi di negerinya sendiri.

Pada titik inilah, CBF lahir di sini, di negara ini. Sebuah konsep paradigma yang sepertinya mengandung bahasa-bahasa sangat manusiawi dalam mengelola hutan. CBF dinilai sebagai jawaban atas antisipasi dan penetralisir konflik negara dengan rakyatnya. Apakah CBF sudah diterapkan secara nyata?

Ramai-ramai digembar-gemborkan sekitar 3 dekade yang lalu, CBF seolah menjadi satria piningit atau ratu adil bagi rakyat yang merasa dan pernah tertindas oleh paradigma TBF. Negara pun mengakomodasinya pada satu dekade kemudian sebagai model pengelolaan hutan. Mata kuliah berbau kerakyatan, sosial, kemanusiaan, human interest, muncul disodorkan ke bangku kuliah oleh institusi-institusi pendidikan. Tampaknya, upaya itu adalah alternatif yang dipakai untuk menjadikan negara menjadi bermuka ramah.

Perbaikan itu tidak berjalan dengan semestinya. Secara metodologis, alat, tools, atau perangkat keras yang disediakan negara untuk menerapkan CBF memang sudah maksimal. Tapi, nyata-nyata ada yang terlewat. Negara melupakan, bahwa para pengajar di institusi pendidikan itu masih bermuka lama. Mereka adalah orang-orang pandai dan sangat setia dengan TBF. Wal hasil, metodologi tersebut hanya menjadi macan kertas, yang tertulis dan terbaca oleh mahasiswa sebagai uraian soal-soal yang diujikan demi perolehan nilai indeks prestasi.

Dalam praktiknya, paradigma TBF tersosialisasi secara halus ke mahasiswa tersebut. Kita tidak menyadarinya, kelak, para mahasiswa itu akan menjadi pengelola hutan pula di negeri ini. Maka, yang terjadi tetaplah TBF. Temans dalam thesisnya di atas, menyebutnya sebagai paradigma TBF jilid dua, yang diberi nama: Community Based Forest Management. Di mana, pengelolaan hutan masih terpusat oleh pemerintah, dan masyarakat di dalam dan disekitar hutan hanya di lihat sebagai realitas yang cateris paribus.

Saya kembali menatap bulan. Kali ini bulan itu tertutup awan. Cahaya di sekitar saya menjadi redup. Angin dingin bertiup menjadikan pori-pori merapat. Saya merinding. Menuju ke peraduan, saya berusaha menggapai kata itu, kata milik Archimedes, yang sekarang menjadi milik orang-orang yang bebas berpikir.
"Eureka...!"

Rabu, 22 September 2010

Philosophia


Negasi Mimpi Yang Tak Adil

Semalam saya mimpi, dapat undian berhadiah televisi berwarna 50" lengkap dengan soundsystem sebesar meja makan. Deg degan rasanya mendengar nama dipanggil sang pengundi, supaya diri saya naik ke atas panggung untuk menerima hadiah itu. Lucunya, hadia diberikan tidak secara simbolik, tapi langsung dalam bentuk barang yang sebenarnya.

Saya jadi kebingungan untuk menerimanya. terlebih lagi, pas saya berpikir untuk membawanya pulang ke rumah, saya bingung. Soalnya saya hanya membawa motor mio soul yang mungkin cuma muat kabel-kabel televisi dan soundsistem hadiah itu saja kalau mau dibawa. Kesenangan itu menjadi sebuah petaka buat saya. Karena saya merasa sulit untuk membawa hadiah itu pulang ke rumah.

Saat berpikir keras dan berusaha mengatasi kebingunan, saya tiba-tiba terbangun. Realitas absurd itu hilang dan nyawa saya seolah melompat ke realitas yang sesunggunya. Ada cahaya terang dari samping kanan kamar saya. Ternyata itu cahaya matahari. Saya lihat jam di handphone, alamak... sudah jam setenga delapan pagi.

Itulah mimpi saya. Saya ceritakan mimpi itu di Facebook. Responnya tidak sebagus yang saya bayangkan. Hanya seorang teman jauh saja yang berkomentar. "aminin aja gan, mudah-mudahan tivinya jadi milik" katanya mengomentari status saya di facebook itu.

Tak dinyana, tiba di kantor, saya menjadi most wanted person. Saya diminta menghadap si empunya jabatan tertinggi di kantor. Saya ditegur (lebih tepatnya dimarahi) karena saya dinilai malas untuk datang pagi. Tapi saya tak mengamini marahannya. Soalnya adalah, baru kali itu saya apes, ketangkap basah datang lewat dari jam 9.00 pagi. Biasanya saya ngantor jam 8.00 atau sebelumnya. Mungkin ada alasan lain, sehingga beliau memarahi saya. Dendam kesumat, sebel, atau saya dinilai nyeleneh di mata dia. Tapi biar lah. Toh apa yang dia tuduhkan saat memarahi saya memang sebuah fakta. Untuk kasus hari itu, saya terima dengan lapang, saya salah.

Tapi tuduhan bahwa saya tidak bisa datang lebih pagi dari jam 8.00 untuk bekerja di kantor adalah salah tempat. Saya mengelak dari tuduhan itu. Saya bilang, "saya setiap hari datang paling lambat jam 8.00" kata saya. Karena memang ruangan saya di bagian belakang kantor, saya seperti luput dari pantauan dia. Nah, kalau mau fair, kenapa tidak semua pegawai diperlakukan sama. Banyak pegawai, selain saya, yang hampir setiap hari masuk lewat dari jam 10.00, dan bahkan bolos, tapi tidak dapat teguran.

Saya cuma peneliti jalanan, yang tidak punya kekuatan secara politik untuk mempengaruhi kebijakan. Yang ada di kepala saya hanyalah berkarya dan berkarya. Persetan dengan politik jabatan dan pangkat, yang biasanya dipakai hanya untuk menganiaya orang lain, dan membanggakan dirinya sendiri. Audjubillah minjalik.... Meski beberapa teman, peneliti juga, saya berani prediksi kalau mereka ada yang bermain di jalur itu. Sebisa mungkin, saya menghindarinya sebagaimana saya menghindari api yang menyala ketika saya membalikkan ikan bakar.

Di sisi lain, perbaikan kinerja akan lebih mengena kepada sasaran kalau sistem lembut (soft sistem) seperti soal kebijakan dan aturan diberlakukan dengan jelas. Setelah itu, dibuktikan pula contoh konkret dari pimpinan secara menyeluruh. Baru setelah itu, prajurit akan mengamininya dan menjaganya sampai kiamat. Ini, belum apa-apa sudah marah-marah, padahal dirinya sendiri bilang, nantinya ke depan, kantor akan didisiplinkan maksimal, absen akan ditarik sebelum jam 8.00 pagi. Jadi jangan main-main, katanya.

Yah, itukan nanti, akan, ke depan, sekarang kan belum. Dan kenapa saya yang kena semprot.
Saya cuma ketangkap basah saat itu saja. Dia tidak lihat saya secara menyeluruh. Mungkin karena saya tidak terlalu banyak memberi UPETI sehingga saya menjadi bulan-bulanan layaknya pencopet tertangkap tangan.

Hah... saya cuma menafsir, kalau realitas ini adalah konsekuensi atas negasi dari mimpi dapat hadiah televisi berwarna dan soundsistemnya. Lain kali, kalau saya, atau anda, atau teman anda, bermimpi mendapatkan hadiah yang lebih besar lagi, maka siap-siaplah kena apes sesaat setelah bangun dari mimpi itu. hahaha... Memang agak mitis dan irrasional. Tapi inilah realitas. Faktual. Truth. Silakan anda mencernanya dengan pikiran terbuka.

salam pembebasan.
In God We Trust



Senin, 06 September 2010

Mengobati Trauma Petani Cendana

Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo*

Kayu cendana memang bukan sembarang kayu. Aroma cendana yang khas membuat banyak orang mabuk kepayang. Tak heran cendana selalu jadi rebutan. Selain bernilai ekonomis tinggi, cendana juga memiliki nilai mistis. Sebuah kisah dari India menceritakan keharuman cendana bisa mengantarkan arwah orang meninggal sampai ke surga. Adalah Mahatma Gandhi, tokoh kharismatik India, yang pada akhir hayatnya meminta mayatnya dibakar bersama tiga ton kayu cendana.

Keharuman cendana tercium sampai daratan Eropa. Kayu inilah alasan utama pelaut Portugis dan Spanyol pada abad 16 menginjakkan kakinya pertama kali di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mengeksploitasi kayu nan wangi ini dan membawa pulang ke negerinya untuk diolah menjadi barang antik, kosmetik, dan obat-obatan bergengsi serta berdaya jual tinggi.

Pemerintah Hindia Belanda tak mau kalah. Ketika berhasil merebut NTT dari tangan Portugis, melalui VOC mereka membuat peraturan khusus mengenai pengelolaan dan tata niaga cendana. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda telah melihat cendana sebagai komoditas yang bisa mengalirkan gulden demi gulden ke dalam kocek Ratu Wilhelmina.

Namun, kejayaan cendana kini tinggal kenangan. Meski masih populer dan menjadi buah bibir banyak orang, secara nyata keberadaan cendana mulai terpuruk. Budidaya cendana mandeg, jaringan pemasaran terbengkalai, dan kehidupan ekonomi petaninya memprihatinkan. Kini sulit sekali mendapatkan kayu cendana dalam jumlah banyak. Kalaupun ada, itu pun cendana dengan kualitas rendah, dan tak jarang ditemukan cendana ‘palsu’ di pasaran. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Benang Kusut Kebijakan

Adalah eksploitasi tak terkendali yang membuat populasi cendana kian berkurang. Darmakusumo et al. (2000) mencatat, berdasarkan survei Dinas Kehutanan Provinsi NTT tahun 1998, jumlah induk dan anakan cendana di Pulau Timor tahun 1997-1998 sekitar 250.940 pohon. Jumlah tegakan ini menurun 53 % dibandingkan survei tahun 1987-1990 sebanyak 544.925 pohon. Catatan yang sama menunjukkan saat ini populasi cendana muda yang berusia jauh dibawah usia panen, sekitar 30-40 tahun, hanya tinggal 17.000 pohon.

Penurunan populasi ini berdampak pada penurunan produksi kayu dan minyak cendana.Ketidakseimbangan antara permintaan pasar yang sedemikian tinggi dengan keterbatasan produksi cendana ini memicu beredarnya produk cendana berkualitas rendah serta cendana palsu. Popularitas dan citra NTT sebagai penyedia kayu cendana terbesar kini terpuruk di dasar jurang karenanya.

Penurunan populasi cendana di NTT bukan melulu disebabkan oleh faktor teknis budidaya, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Justru konflik kepentingan antara pemerintah dan petani cendana serta kebijakan yang berubah-ubahlah yang menjadi sumber masalah. Masyarakat merasa berhak mengelola dan menikmati hasil panenan cendana yang ada di lahan miliknya. Di sisi lain, pemerintah merasa perlu mengatur dan mengontrol populasi dan produksi cendana sebagai komoditas unggulan HHBK (hasil hutan bukan kayu), juga sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang menggiurkan.

Pada sekitar abad X pemanfaatan cendana diatur oleh para raja-raja di Timor melalui ketentuan adat yang disebut “Banu Haumeni”. Aturan adat ini mengatur perlindungan dan perdagangan tanaman cendana. Aturan itu mengatur sangsi berupa denda bilamana ada rakyat jelata yang secara sembarangan menebang, membakar atau merusak tanaman cendana. Denda dikenakan sesuai dengan umur tanaman, biasanya mengganti cendana yang mati dengan kambing atau kerbau. Perdagangan cendana hanya bisa dilakukan oleh raja dan keluarganya. Rakyat jelata dilarang melakukan transaksi sebelum pedagang bertemu dengan raja dan atau keluarga raja.

Di saat Portugis dan VOC memasuki NTT, perdagangan cendana diatur dengan pembagian hasil 2/3 bagian untuk Portugis atau VOC. Sedangkan raja memperoleh 1/3 bagian. Ketika pemerintahan Hindia Belanda berkuasa, peraturan mengenai cendana semakin memberatkan masyarakat. Masyarakat diharuskan memelihara tanaman cendana yang tumbuh dilahannya. Apabila tanaman tersebut mati, maka masyarakat akan didenda. Dendanya tak hanya berupa pembayaran uang, tetapi juga hukuman penjara yang lamanya mencapai 3 tahun (Rahayu dkk, 2002).

Dalam buku Cendana, Deregulasi dan Strategi Pengembangannya (World Agroforestry Centre-ICRAF, 2002) Subekti Rahayu dkk, melukiskan bagaimana inkonsistensi kebijakan pengelolaan cendana ini berlangsung sejak lama. Buku ini mencatat sejak Indonesia merdeka, sudah terjadi 7 kali perubahan peraturan mengenai cendana. Halnya dengan cendana di NTT, kebijakan yang berdampak luas adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT No.16 tahun 1986.

Perda ini mengatur cendana yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam provinsi NTT dikuasai oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan NTT. Sedangkan dari lahan petani, produksi cendana harus dibagi dengan proporsi 15 % untuk petani dan 85% untuk Pemda.

Kebijakan ini menuai badai protes. Proporsi pembagian dipandang tidak adil. Masyarakat yang mempunyai tanaman cendana di lahan milik pribadi maupun tanah ulayat/adat, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, merasa dirugikan. Pemerintah dianggap telah merampas hak milik masyarakat yang sah. Bayangkan saja, ketika masyarakat sudah susah-susah menanam dan memelihara cendana di lahan miliknya selama puluhan tahun, malah harus menyetor hasil panennya hampir sepertiga bagian kepada pihak yang samasekali tak ada andil di dalamnya.

Jelas-jelas sebuah kebijakan yang mengingatkan kita pada sistem Tanam Paksa di Jawa pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dulu. Masyarakat petani cendana dibuat frustasi dengan kebijakan ini. Banyak di antara mereka kemudian memusnahkan anakan cendana dan berusaha mematikan tanaman cendana yang tumbuh liar di lahan miliknya. Sampai saat ini masih ada petani cendana yang mengidap trauma dan menganggap cendana hanya sebagai ‘kayu pembawa petaka’.

Perda No.16 tahun 1986 itu kemudian direvisi oleh Keputusan Gubernur No.2 tahun 1996 tentang kayu cendana. Proporsi pembagian hasil diubah menjadi 40% bagian untuk petani dan 60 % untuk Pemda. Namun ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat sudah telanjur trauma dan kecewa terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap tanaman cendana sudah pupus.

Hingga akhirnya muncul Perda NTT No.2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda No.16 Tahun 1986, yang di keluarkan 26 Maret 1999. Perda ini menyerahkan kepengurusan cendana kepada Pemda Kabupaten. Dengan dicabutnya Perda No.16 tahun 1986 berarti cendana di lahan petani dapat dipanen dan dijual secara bebas oleh petani yang menanamnya. Sedangkan cendana yang dikelola oleh perkebunan pemerintah dipanen sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Perspektif Baru

Pencabutan Perda No.16 tahun 1986 seharusnya mampu memotivasi masyarakat NTT untuk menanam cendana. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Hasil monitoring dan evaluasi Tim Universitas Nusa Cendana (Undana)-Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang dalam kegiatan Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat melalui Budidaya Cendana di Kecamatan Amarasi selama September 2006 hingga Februari 2007 lalu, menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat desa Ponain dan Tesbatan masih trauma terhadap kebijakan Pemda tentang pengelolaan cendana, terutama soal pembagian hasil panen cendana.

Pekerjaan mendesak yang perlu dilakukan sekarang adalah mengobati trauma sekaligus memunculkan kembali motivasi masyarakat untuk mau menanam cendana. Hal itu bisa dilakukan beriringan dengan sosialisasi, atau lebih tepatnya lagi, meyakinkan masyarakat bahwa Perda pembagian hasil panen cendana kini tidak berlaku lagi. Sekarang, masyarakat bisa menanam, memelihara, dan menikmati hasil produksi kayu cendana miliknya sendiri tanpa harus berbagi dengan pemerintah.

Tetapi sosialisasi saja tidaklah cukup. Pelatihan teknologi dan budidaya cendana, pembuatan aturan pengelolaan cendana yang adil dan manusiawi, ada jaminan konsistensi kebijakan, kepastian hak kepemilikan tanaman cendana melalui sertifikasi tanah, penguatan kelompok petani cendana, serta pembuatan jejaring dan aturan tataniaga cendana yang menguntungkan bagi petani cendana, pemerintah dan pengusaha harus dilakukan. Jika semua itu dibenahi, dalam 30-40 tahun ke depan Provinsi NTT akan kembali berjaya sebagai satu-satunya penyedia kayu cendana terbesar di dunia []

*Peneliti Sosiologi Kehutanan Pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Revitalisasi Penyuluh Kehutanan di NTT

(Menyoal Implementasi UU.No.16/2006 tentang SP3K)

Oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo*

Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi kerusakan hutan yang marak terjadi belakangan ini adalah melalui pendekatan aspek kelembagaan. Jejaring kemitraan dalam rangka penyelamatan hutan mesti dibangun dengan terencana dan sinergis. Ketika pemerintah hendak memulainya, ada dua hal mesti dilakukan. Pertama, melakukan koordinasi dan komunikasi di tingkat institusi (internal). Kedua, melakukan koordinasi dan komunikasi kepada stakeholders di luar institusi (eksternal). Stakeholders itu antara lain; LSM/NGO, cendikiawan, pengusaha, dan masyarakat di tingkat tapak.

Koordinasi dan komunikasi tingkat internal akan melibatkan berbagai elemen di lingkup pemerintah. Baik struktural maupun fungsional. Secara struktural, pemerintah hendaknya membangun fondasi hukum (legal-formal), mengeluarkan kebijakan populis terhadap penyuluhan, serta membentuk struktur kelembagaan yang luwes bagi hpelaksanaan aksi oleh tenaga-tenaga fungsional.

Secara fungsional, figur personil paling dekat dengan aksi penyelamatan hutan adalah tenaga penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan menjadi ujung tombak dari keseluruhan aksi tersebut. Penyuluh kehutanan tentu bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam upaya penyadaran, pendampingan dan pembinaan kelestarian hutan.

Namun, kenyataannya tenaga penyuluh kehutanan kerap kali lepas dari perhatian pemerintah. Penyuluh tidak secara optimal difungsikan sebagai penyampai pesan (messenger) bagi penyadaran dan pembinaan masyarakat terhadap pelestarian hutan. Tenaga penyuluh justru banyak difungsikan sebagai tenaga non-struktural dan struktural yang bekerja di dalam kantor (bukan di lapangan). Padahal, lewat penyuluhlah pesan kelestarian hutan bisa disampaikan secara maksimal kepada masyarakat.

Implementasi UU-SP3K No.16/2006

Desember 2007 lalu diadakan pertemuan untuk fasilitasi Forum Koordinasi dan Komunikasi Penyuluhan Kehutanan (FKKPK) diinisiasi Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Pertemuan itu dilakukan sebagai tindaklanjut terbitnya Undang-undang No.16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K).

FKKPK-NTT merupakan wadah yang dibentuk untuk mempermudah koordinasi antar penyuluh dan instansi terkait di tingkat Kabupaten, Kota dan Provinsi di NTT. FKKPK-NTT dibentuk pada 2003 dengan tugas melakukan koordinasi penyuluhan kehutanan tingkat provinsi melalui dasar hukum Surat Keputusan Gubernur NTT. Keanggotaan Forum diinventarisasi oleh tiap instansi yang terlibat di dalamnya.

Permasalahan utama yang dihadapi FKKPK-NTT adalah sejak pertama kali forum ini dibentuk belum juga menjalankan tugasnya. FKKPK-NTT vakum sejak 2003 hingga akhir 2007 lalu. Di sisi lain, persoalan yang dihadapi tenaga penyuluh secara personal adalah tidak difungsikannya tenaga penyuluh kehutanan yang sudah ada.

Pada tingkat decission maker, masih terdapat tarik ulur kewenangan soal pembuatan kebijakan antara pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi dalam hal mengatasi permasalahan penyuluhan di NTT. Integrasi berbagai aspek dan sektor penyuluhan tentu sangat diperlukan untuk mengembalikan peran dan fungsi vital tenaga penyuluh dan optimalisasi FKKPK itu sendiri.

UU-SP3K No.16/2006 yang disahkan Komisi IV DPR-RI pada 18 Oktober 2006 sejatinya menjadi payung hukum kuat bagi revitalisasi dan optimalisasi dalam memaksimalkan peran dan fungsi tenaga penyuluh kehutanan. UU-SP3K No.16/2006 dengan sendirinya menjadi titik awal pemberdayaan masyarakat di tingkat tapak, para penyuluh kehutanan PNS, Swasta, dan penyuluh kehutanan Swadaya.

Dalam UU-SP3K tercantum amanat, penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, merupakan hak azasi warga negara Republik Indonesia dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya, sehingga sangat jelas bahwa penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan kewajiban pemerintah dan merupakan hak bagi petani (dikutip dari: www.deptan.go.id/bpsdm/penyuluhan/index.htm, diakses 15 Januari 2008).

Amanat UU-SP3K dapat menjadi landasan kuat bagi penyuluh kehutanan maupun masyarakat di tingkat tapak untuk menuntut haknya soal mengorganisasikan diri dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan serta meningkatkan kesadaran pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Empat Langkah Revitalisasi

Dalam konteks NTT, keberadaan FKKPK-NTT bisa saja dimanfaatkan dengan melakukan revitalisasi kelembagaan agar kinerjanya optimal. Hal yang dapat dilakukan antara lain:

(1). FKKPK Sebagai Organisasi

FKKPK sebagai organisasi akan lebih baik jika tetap berbentuk forum dengan struktur organisasi yang cair. Selain beranggotakan tenaga fungsional penyuluh, personil yang duduk di dalam forum juga melibatkan orang berkompeten, baik kepala instansi (decission maker) maupun masyarakat tingkat tapak dan mitra kerja. Peran bupati dan gubernur akan menjadi spirit yang bisa menstimuli secara positif bagi kinerja FKKPK. Masukan atas berbagai permasalahan, saran, dan solusi dari pihak pemerintah kabupaten atau daerah tapak dapat pula difasilitasi oleh FKKPK.

(2). Aspek Legal-Formal dan Kelembagaan

Dasar hukum FKKPK adalah UU-SP3K No.16/2006. Beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia bahkan telah melakukan implementasi UU-SP3K. Ada Kabupaten yang membentuk Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Tingkat Provinsi yang diketuai Gubernur/Bupati, dipimpin eselon II dan bertanggungjawab kepada Menteri Kehutanan. Akan halnya Kabupaten Sinjai (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur).

Pemerintah Provinsi NTT belum memiliki kelembagaan seperti itu. Padahal sudah ada aturan yang menunjang UU-SP3K No.16/2006, yaitu Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang perampingan organisasi perangkat daerah, termasuk kelembagaan bagi penyuluhan. Dengan demikian, aspek hukum (legal-formal) kelembagaan penyuluh sangat mendasar.

Kelembagaan penyuluh bisa dimasukkan dalam struktur kelembagaan pemerintah dengan landasan UU-SP3K No.16/2006 dan PP No. 41/2007 yang ditata dalam perangkat daerah. Jika begitu, Pemerintah Provinsi NTT hanya tinggal mengaplikasikan saja dengan membuat aturan turunannya.

(3). Tenaga Fungsional Penyuluh

Aspek sumberdaya manusia menjadi hal penting untuk dibahas selanjutnya. Kelengkapan fasilitas dan penguasaan skill menjadi sesuatu yang mesti diperhatikan. Kelembagaan akan terbentuk secara kuat jika ditunjang skill dan fasilitas memadai agar kinerja penyuluh kehutanan menjadi maksimal dan tepat sasaran.

Secara skill, penyuluh kehutanan perlu dibekali kemampuan dan pengetahuan soal pertanian, perikanan dan lain sebagainya. Ini untuk menjawab image dan tingkat pengetahuan masyarakat tingkat tapak yang minim soal profil penyuluh kehutanan. Penyuluh selalu didefinisikan oleh masyarakat sebagai penyuluh an-sich. Masyarakat terkesan tak mau tahu secara spesifik (bidang keahlian) tenaga penyuluh.

Fasilitas dapat ditambah berupa pembangunan stasiun ekstension kehutanan bagi tenaga penyuluh kehutanan untuk mempermudah tugas dan akses penyuluhan kepada masyarakat tapak dan koordinasi dengan pihak terkait. Stasiun ekstension bisa memakai KPRH yang ada hampir di tiap kecamatan.

Di sisi lain, keterbukaan RRI Stasiun Kupang sebagai mitra kerja Pemerintah Provinsi NTT yang siap membantu penyuluhan melalui siaran radio serta menyikapi kebiasaan masyarakat tingkat tapak/desa terpencil terbiasa mendengarkan pesawat radio menjadikan bukan suatu yang berlebihan jika penyuluh difasilitasi pula pesawat radio.

(4). Penyuluh sebagai media sosialisasi hasil penelitian

FKKPK dapat menjadi mitra bagi Balai Penelitian Kehutanan dalam rangka penyebaran hasil penelitian kehutanan berupa informasi mengenai teknologi tepatguna dalam pengelolaan hutan secara lestari kepada masyarakat tapak. Melalui FKKPK, tenaga penyuluh dapat jadi media yang familar dan populer untuk menyosialisasikan dan menyampaikan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Setidaknya, empat hal tersebut dapat menginspirasi kelanjutan FKKPK-NTT ke depan. Hal lain yang mesti dipertimbangkan adalah soal kebutuhan anggaran. Dukungan legislatif (DPRD) NTT sangat diperlukan dalam menggolkan RABPD dengan memasukkan kegiatan penyuluhan ke dalam pos anggaran yang dibiayai pemerintah. Peran mitra (penyuluh swadaya, LSM/NGO) dan pengusaha dalam hal fund rising juga dibutuhkan.

Melalui langkah tersebut kegiatan penyuluhan kehutanan di NTT diharapkan kembali bergairah dan berdampak positif terhadap aksi penyelamatan hutan demi menghindari becana alam yang lebih besar lagi yang menerpa negara kita ini secara umum dan di NTT secara khusus.

*Peneliti Sosiologi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Email: budiyanto_dwiprasetyo@yahoo.com

Ketika Hutan Dijarah Elite Politik

Oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo*

Memasuki bulan April semestinya kita bisa menyambut peringatan hari bumi yang diperingati setiap tanggal 22 dengan berbagai harapan. Momen hari bumi dapat membuat kita berefleksi, menyusun rencana, dan melakukan aksi untuk memperbaiki kondisi bumi kita yang semain tua dan dipenuhi polusi ini. Alih-alih membuat bumi menjadi lebih nyaman untuk dihuni, awal bulan April tahun ini kita dikejutkan oleh dua berita tentang penjarahan hutan yang menjadi headline di sejumlah media massa. Ironis sekaligus tragis bagi negara yang tahun lalu baru saja sukses menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim di Bali.

Tertangkapnya anggota DPR-RI dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Al Amin Nasution oleh KPK dan aparat kepolisian pada Selasa malam 8 April lalu membuat kita terhenyak. Al Amin ditangkap di salah satu hotel mewah di Jakarta sesaat setelah menerima uang suap dari Sekretaris Daerah Bintan Kepulauan Riau Azirman, senilai 71 juta rupiah. Kabarnya, uang tersebut merupakan down Payment dari total suap yang direncanakan senilai 3 miliar rupiah. Al Amin kini resmi menjadi tersangka dalam kasus alih fungsi hutan lindung menjadi taman rekreasi dan permukiman di Bintan, Kepulauan Riau.

Tiga pekan lalu, Majalah Tempo melaporkan, Tim Gabungan berhasil membongkar jaringan mafia kayu di Ketapang Kalimantan Barat. Di antara oknum yang dicokok terdapat Kepala Dinas Kehutanan Ketapang, Kepala Kepolisian Resor Ketapang, serta seorang calon wakil bupati. Selama bertahun-tahun, jaringan mafia kayu ini bersatu padu menjarah isi hutan Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka terdiri atas para cukong, penebang liar, sejumlah anggota dinas kehutanan, aparat kepolisian, aparat Departemen Perhubungan, dan aparat pemerintah kabupaten setempat.

Tim Gabungan Markas Besar Kepolisian RI dan Departemen Kehutanan memperkirakan kerugian negara akibat tindakan mafia itu mencapai Rp 32,4 triliun per tahun. Jumlah ini setara dengan 26 kali lipat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) periode 2008 Provinsi Kalimantan Barat (Majalah Tempo Edisi: 08/XXXVII/14 - 20 April 2008).

Dua peristiwa itu jelas memukul wajah kehutanan Indonesia. Tak hanya itu, kewibawaan pemerintah dan parlemen menjadi rusak di mata publik. Kita patut bangga terhadap kejelian dan kecekatan aparat penegak hukum dalam menindak para penjarah hutan. Akan tetapi tetap saja kebanggaan itu mampu dikalahkan oleh malu yang didapat akibat tingkah polah oknum elite politik itu.

Ada hal menarik yang bisa dianalisis lebih lanjut terkait dua berita besar soal tertangkapnya elite politik penjarah hutan tersebut. Setidaknya dapat diketahui menurut logika awam (commonsense), saat ini hutan mulai dilirik sebagai komoditas yang dengan mudah dan cepat dapat memperkaya diri bagi para pemegang kekuasaan. Lainnya, terlihat jelas cara pandang terhadap hutan sebagai suatu hal yang dapat dieksploitasi (dijarah) demi memperkaya diri sendiri sudah merembes hingga ke tataran elite politik negeri ini. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (malpower and malauthority) terjadi pada kadar yang sudah memprihatinkan.

Hutan: Konservasi Versus Komodifikasi

Jika melihat fenomena elite politik yang seperti itu adalah lumrah jika muncul pertanyaan “Akankah kita menemukan hutan di Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang?” Pertanyaan itu tampak menggelitik. Akan tetapi pertanyaan itu tentu dirasa perlu untuk diajukan pada saat ini.

Bagi sebagian orang, hutan merupakan sesuatu yang given (ada begitu saja) dan bisa dimanfaatkan demi kemaslahatan bersama. Namun, sebagian yang lain mengatakan, bahwa hutan merupakan komoditas yang dapat menghasilkan tumpukan uang ke dalam pundi-pundi mereka.

Dua anggapan itulah yang secara nyata ada dan berlaku pada kehidupan keseharian kita pada saat ini. Anggapan pertama berpendapat bahwa hutan merupakan sebuah anugerah yang harus disyukuri dan dipelihara keberadaaanya. Anggapan ini menilai bahwa fungsi hutan tak lain sebagai paru-paru bumi, penyimpan air tanah, dan sumber kestabilan ekosistem berbagai makhluk hidup yang ada di dalamnya. Tak heran jika kelompok yang beranggapan demikian kerap menjadikan hutan sebagai sesuatu yang patut dijaga dengan semangat konservasi.

Sedangkan anggapan kedua berpendapat bahwa hutan merupakan sumber penghasil keuntungan secara ekonomi. Hutan dipandang sebagai komoditas yang bisa mendatangkan rupiah demi rupiah (bahkan dolar demi dolar) jika mampu menaklukkannya secara eksploitatif. Anggapan ini seolah membenarkan argumentasi bahwa pada titik ekstrim, eksploitasi hutan secara berlebihan akan membuat orang yang melakukannya menjadi kaya. Hal itu tentu dengan tidak melihat dampak yang kelak muncul dari kegiatan eksploitasi tersebut.

Secara umum, antropolog Kluchohn dan Stodbeck (1961) pernah mengklasifikasi karakteristik masyarakat berdasarkan cara pandang mereka terhadap alam (hutan). Kedua anggapan di atas merupakan bagian dari perihal yang pernah dikatakan Kluchohn dan Stodbeck. Dalam perjalanan peradaban manusia, Kluchohn dan Stodbeck yakin, cara pandang terhadap hutan seperti itu akan terus ada, mengingat masyarakat berisi orang-orang yang selalu memiliki dikotomi pemikiran dan cara pandangnya masing-masing. Dalam masyarakat juga selalu tercipta fraksi-fraksi atau kelompok kelompok dengan kepentingannya masing-masing.

Akan tetapi yang menjadi soal, saat ini fraksi dengan anggapan kedualah yang mendominasi wacana publik dan selalu beraksi dengan tanpa ada rasa takut dan bersalah sedikit pun. Celakanya, fraksi ini berisikan orang-orang yang secara struktur sosial berada di tingkat atas. Mereka memiliki kekuasaan (power), wewenang (authority), dan sebagai pembuat keputusan pula (decision maker). Ini tentu pertanda buruk bagi keberadaan hutan ke depan. Jika orang-orang yang demikian ini tetap berkuasa, tentu kita tak akan dapat lagi melihat hutan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan.

Adalah kabar gembira ketika sanksi yang diberikan kepada elite politik yang terlibat soal penjarahan hutan dicopot dari jabatannya. Dampak yang ditimbulkan dari sanksi itu diharapkan memunculkan efek jera, selain kepada elite yang bersangkutan, juga kepada elite lainnya yang coba-coba ikut bermain dalam bisnis terlarang itu. Meski demikian, efek jera akan lebih ampuh jikalau sanksi yang diberikan tak hanya pencopotan dari jabatan saja. Sanksi kurungan berikut denda untuk menggantikan kerugian negara akibat tindakan mereka patut juga ditimpakan kepada elite nakal itu. Untuk itu, aparat penegak hukum tidak bisa bilang tidak untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.

Kiranya masyarakat tak boleh tinggal diam menyikapi persoalan ini. Mengingat kerugian akibat dampak yang ditimbulkan dari penjarahan hutan tak semuanya dialami negara. Masyarakat pun menjadi korban. Jikalau datang musim hujan, hutan yang rusak akibat dijarah akan menyebabkan air tidak terserap secara baik ke dalam kantung-kantung air di dalam tanah. Akibatnya bisa ditebak, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana alam akan menerpa masyarakat umum, terutama mereka yang berada di sekitar hutan yang dijarah.

Untuk itu, masyarakat kiranya bisa menghidupkan sanksi normatif berupa pencekalan bagi elite politik yang terlibat penjarahan hutan. Bisa saja dengan membuat mosi tidak percaya, atau bahkan memboikot calon-calon pemimpin yang punya track record buruk mengenai hutan. Sanksi dalam bentuk seperti ini menjadi penting dan bermanfaat jika melihat momen pilkada tengah berlangsung di berbagai daerah, akan halnya pilkada Gubernur (pilgub) yang sedang berlangsung di NTT. Pun halnya dengan pemilu presiden dan parlemen yang akan berlangsung tahun depan.

Kasus Bintan dan Ketapang kiranya menjadi peringatan bagi kita semua untuk dapat memilih pemimpin secara bijak. Tak hanya terbuai janji-janji sesaat, tapi tetap mengontrol dan mengingatkan jika mereka melanggar janji-janji mereka sendiri. Akan lebih baik, jika setiap calon pemimpin menandatangani kontrak politik sebagai janji yang mengikat kepada konstituennya, untuk tidak memperlakukan hutan layaknya sapi yang diperah susunya untuk diminum oleh dirinya sendiri []

*Peneliti Sosiologi Kehutanan Pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang


Aksi Penanaman Pohon Jangan

Sekadar Jargon

Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo*

Pada 28 November 2007, pemerintah pernah lakukan Aksi Penanaman Serentak Indonesia di Desa Cibadak, Tanjungsari, Bogor. Saat itu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, telah rekapitulasi hasil Penanaman Serentak Indonesia tersebut hingga bulan Juni 2008 dengan jumlah 86,9 juta pohon dari target semula sejumlah 76 juta pohon. Sedangkan pohon yang ditanam dalam aksi Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon adalah 14 juta pohon dari target 10 juta pohon. Kedua aksi penanaman tersebut dinilai berhasil lantaran mampu melebihi jumlah pohon yang ditargetkan untuk ditanam. Keberhasilan itu diapresiasi pula oleh United Nation Environment Programme (UNEP) dengan memberikan penghargaan International Certificate of Global Leadership kepada pemerintah Indonesia.

Bak gayung bersambut, pemerintah menyikapi keberhasilan aksi penanaman itu dengan menjadikan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Nasional. Tak hanya itu, bulan Desember pun kemudian dikukuhkan sebagi Bulan Menanam Nasional. Penetapan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia (Kompas, 11 November 2008). Namun demikian, penanaman pohon dapat pula dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya sesuai dengan kondisi iklim dan curah hujan setempat, seperti halnya dilakukan Menteri Kehutanan, MS Kaban, dalam kegiatan Pencanangan Penanaman Cendana di Desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 15 Februari 2009. Aksi penanaman Cendana oleh Menteri Kehutanan tersebut dilakukan pada saat NTT mengalami curah hujan yang cukup guna menyiasati kondisi iklim semi arid.

Berbagai aksi penanaman tersebut merupakan momentum strategis bangsa Indonesia dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta kerusakan lingkungan lainnya yang mengakibatkan penurunan produktivitas alam dan kelestarian lingkungan. Selain itu, aksi penanaman pohon juga dapat meningkatkan kepedulian semua pihak tentang pentingnya menanam dan memelihara pohon secara berkelanjutan.

Secara makro-politik, penanaman pohon dapat mengurangi dampak pemanasan global dan mencapai pembangunan Indonesia yang bersih sesuai prinsip Clean Development Mechanism (CDM). Sedangkan secara mikro-teknis, bertambahnya jumlah pohon tentu dapat tingkatkan absorbsi gas CO2, SO2, dan polutan lainnya. Dari aspek lingkungan, tak hanya dapat mencegah banjir, kekeringan, dan tanah longsor, akan tetapi juga bisa meningkatkan upaya konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan. Dari segi sosial, aksi penanaman pohon dapat menggugah dan menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat untuk mau memulai menanam dan memelihara pohon. Kesadaran masyarakat yang kemudian muncul diharapkan dapat membangun cara berpikir (mindset) ramah lingkungan yang melekat di kehidupan sehari-hari.

***

Dalam sebuah talk show dalam rangka peringatan Hari Menanam Pohon 2008 di TVRI pada 25 November 2008 malam, Menteri Kehutanan MS Kaban menjelaskan, berbagai aksi penanaman pohon yang dilakukan pemerintah adalah salah satu upaya untuk menciptakan momentum bagi bangsa ini agar bisa secara bersama-sama menyelamatkan hutan Indonesia. Meski pemerintah telah berupaya maksimal mengurangi kerusakan hutan, akan tetapi kunci keberhasilannya tetap saja ada di tangan semua elemen masyarakat.

Maka dari itu, target utama dari berbagai aksi penanaman pohon hendaknya tak hanya ditujukan pada aspek biofisik saja (pengurangan lahan kritis dan menambah tutupan lahan). Akan lebih efektif apabila target tersebut juga membidik manusia Indonesia sebagai subyek sasaran. Hal ini menjadi penting lantaran manusia merupakan penyumbang terbesar bagi angka hilangnya hutan di Indonesia.

Aktivitas segelintir manusia dalam penambangan di kawasan hutan, maraknya illegal logging, dan perladangan berpindah yang berkelanjutan merupakan causa prima yang paling menonjol dalam merusak hutan. Aktivitas itu sudah barang tentu dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan tanpa berpikir panjang dan menyeluruh. Keuntungan ekonomi yang didapat dari aktivitas tersebut sangat tak sebanding dengan ongkos sosial (social cost) yang ditimbulkannya.

Social cost yang membengkak akibat perusakan hutan secara mudah bisa ditunjukkan melalui banyaknya jumlah masyarakat yang menjadi korban akibat bencana banjir dan longsor yang frekuensinya terus meningkat setiap tahunnya di hampir seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat korban bencana tentu tak sepeser pun menerima keuntungan dari aktivitas pengusahaan hutan ilegal oleh oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut. Jumlah masyarakat yang menjadi korban bencana secara otomatis lebih banyak ketimbang jumlah pihak yang menangguk untung dari pengusahaan hutan ilegal.

Minimnya kontrol pemerintah dan lemahnya penegakan hukum aparat dinilai banyak pihak sebagai pemicu maraknya aktivitas perusakan hutan. Di sisi lain, oknum pemerintah dan wakil rakyat yang korup merupakan aspek lain yang memperparah kerusakan hutan di Indonesia.

Kita tentu masih ingat skandal kongkalingkong antara anggota DPR RI, Al Amin Nasution dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Azirwan di awal April 2008 lalu. Kedua pejabat publik itu digerebeg Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat hendak berbagi uang jatah atas lolosnya izin pengalihan fungsi hutan lindung menjadi taman rekreasi dan permukiman di Bintan Kepulauan Riau. Kasus tersebut hanyalah puncak dari gunung es berbagai kasus kehutanan yang ada.

***

Aksi penanaman dan pemeliharaan pohon yang dicanangkan pemerintah setidaknya merupakan upaya untuk memunculkan antitesis atas persoalan kehutanan tersebut. Jikalau hanya sekadar aksi, penanaman pohon akan selesai dalam beberapa jam saja ketika kegiatan seremonial usai dilakukan. Akan tetapi, apabila aksi penanaman tersebut diterjemahkan sebagai sebuah momentum bagi langkah awal penanaman pohon oleh segenap elemen bangsa serentak dan berkesinambungan, tentu memerlukan cara yang rasional dan mengakar di masyarakat itu sendiri.

Pemerintah mesti mengambil langkah awal yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mau menanam dan memelihara pohon. Tentu tidaklah mudah menggugah kesadaran seseorang. Perlu pendekatan jitu, kesabaran, serta waktu yang panjang untuk merealisasikannya. Penetrasi sebuah gagasan untuk bisa diimplentasikan di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati. Pendekatan sosiologis merupakan alternatif pilihan yang patut dilakukan. Soerdjono Soekanto (2001) menjelaskan, pendekatan sebuah gagasan akan lebih efektif dilakukan secara damai (penetration pasifique) ketimbang lewat kekerasan (penetration violence).

Pentration Pasifique pernah dilakukan penjajah Belanda di awal kedatangan mereka untuk menaklukkan Hindia Belanda di abad XVI. Belanda dengan sabar, ulet, dan telaten selalu mempelajari seluk-beluk calon negeri jajahannya. Adalah seorang Snouck Hurgronje yang mampu memberikan laporan secara brilian kepada Ratu Wilhelmina mengenai kondisi sosio-antropologis manusia-manusia di bumi Hindia Belanda. Berbekal laporan Hurgronje itulah, Belanda dengan mudah memoroti hasil bumi Hindia Belanda selama tiga setengah abad lamanya.

Sejarah memang guru yang bijak bagi semua bangsa. Hal baik yang bisa dipetik dari peristiwa itu adalah upaya Hurgronje untuk melakukan studi sosio-antropologis terhadap manusia-manusia yang ada di Hindia Belanda. Studi itu kemudian mempermudah Belanda untuk menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Berkat studi tersebut, Belanda menjadi tahu karakteristik, sifat, watak, kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku. Pengetahuan sosio-anthropologis tersebut merupakan pintu gerbang bagi Belanda untuk bisa menjajah Hindia Belanda. Ideologi dapat dengan mudah dipenetrasi ke dalam sebuah bangsa dengan tanpa bangsa tersebut merasa terjajah di masa-masa awal.

Peristiwa tersebut setidaknya dapat menjadi cermin bagi upaya membangun kesadaran bangsa ini untuk mau menanam pohon. Pembangunan kesadaran (constructioning of consciousness) di masyarakat jangan semata-mata dilakukan hanya karena telah ditetapkannya tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Nasional dalam sebuah Keppres. Itu hanya akan menghambur-hamburkan anggaran dan tenaga. Terlebih lagi menjelang Pemilu 2009, hendaknya pembangunan kesadaran di masyarakat jangan pula dikaitkan kepada orientasi politik.

Pembangunan kesadaran masyarakat untuk menanam pohon hendaknya dilakukan sebagai aksi yang mengakar secara sosio-antropologis. Artinya, masyarakat mesti paham dan mengerti betul apa yang dilakukannya secara rasional. Di sisi lain, pemerintah sebagai fasilitator diharapkan memiliki political will untuk mau memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Dalam melakukan pembangunan kesadaran masyarakat untuk menanam pohon, pemerintah dapat menggunakan pendekatan penetration pasifique. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan pemerintah saat melakukan penetration pasifique.

Pertama, pemerintah mesti lebih terbuka dan tidak membatasi jenis pohon, cara menanam dan memelihara pohon. Hal itu diserahkan kepada masing-masing daerah. Mengingat, daerah di Indonesia memiliki karakteristik biofisik dan keanekaragaman hayati yang berbeda-beda. Lain dari itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas petani tentu mempunyai kearifan lokal yang merupakan kemampuan mendasar dalam hal menanam pohon.

Kedua, pemerintah tidak boleh berhenti hanya pada titik seremonial tanggal 28 November saja. Melainkan mesti terus-menerus melakukan aksi penanaman, kampanye dan sosialisasi mengenai arti penting menanam pohon bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Termasuk terus menghimbau masyarakat agar memelihara pohon yang sudah ditanam.

Ketiga, alangkah baiknya jika pemerintah menjadikan berbagai aksi penanaman pohon tersebut sebagai langkah awal bagi terbentuknya sebuah gerakan budaya (cultural movement). Hal ini bisa dilakukan apabila pemerintah telah berhasil membangun kesadaran masyarakat untuk menanam pohon. Maka dari itu, gerakan budaya tak bisa dilakukan secara mendadak dan terburu-buru. Melainkan perlu waktu, kesabaran, ketelatenan, serta konsistensi dalam mewujudkannya.

Satu lagi yang perlu dicatat adalah pentingnya menyelamatkan mindset generasi muda dari pola pikir yang tak ramah lingkungan. Caranya antara lain dengan melakukan penetrasi melalui sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang berperan penting dalam membentuk karakter dan mindset generasi mendatang. Memasukkan materi pendidikan lingkungan (dikling) sebagai salah satu mata pelajaran di semua jenjang pendidikan sekolah menjadi pilihan strategis. Pemerintah mestinya bisa mengkoordinasikan Departemen Kehutanan dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk mewujudkan hal tersebut.

Maka dari itu, sudah semestinya aksi penanaman pohon tidak lagi hanya sekadar jadi jargon pemanis pada seremonial sebuah kegiatan. Aksi penanaman pohon adalah titik awal bagi terwujudnya gerakan penanaman pohon oleh segenap elemen bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan. Dengan begitu, bukan merupakan sesuatu yang mustahil, hutan Indonesia yang lestari dan masyarakat sejahtera berwawasan lingkungan bisa terwujud. []