Kamis, 13 Januari 2011

Menulis Adalah Soal Keberanian

Saya pelototi tulisan yang ada di kaos oblong hitam bergambar muka Pramoedya Ananta Toer (Pram), "Menulis Adalah Soal Keberanian." Kuat sekali kalimat itu. Padahal, itu cuma sepenggal kalimat. Sebatas sablonan di kaos yang saya beli pada akhir 2003. Kaosnya pun sudah belel, warna hitamnya pudar, dan ukurannya juga mulai sempit kalau saya pakai. Tapi, saya senang dengan kaos itu. Punya kekuatan yang mampu membangkitkan hidup saya.

Pram adalah tokoh nyata dalam kehidupan bangsa ini. Seorang yang lebih dari setengah hidupnya dihabiskan dalam hukuman negara. dari jaman penjajah sampai negara ini merdeka. Tudingannya macam-macam. Tapi pada intinya, dia stigma sebagai pemberontak rejim yang berkuasa.

Pram hanya menulis. Tidak korupsi atau menjadi teroris. Pram hanya menyuarakan apa yang dipahaminya sebagai nilai-nilai selayaknya sebagai manusia dan itu harus ditegakkan dalam kehidupan. Sebutan revolusioner, sosialis, komunis terhadapnya cuma stigma yang dicitrakan kepadanya.

Pram menulis dengan nurani yang berpihak kepada orang-orang kelas bawah. Dengan memandang manusia adalah sebagai das ding an sich yang berdiri sendiri. Manusia adalah makhluk otonom. Maka dari itu, nasibnya ditentukan oleh sepak terjangnya sendiri. Ending kehidupannya ditetapkan oleh jejak langkahnya. Tema tulisan seperti itulah yang ternyata berseberangan dengan apa yang diinginkan penguasa. Sebab, penguasa selalu ingin berperan menjadi determinan atas yang dikuasai. Maka dari itu, ketika kaum yang terdeterminasi dibela, eksistensi penguasa pun menjadi terancam. Hukuman bagi sang pembela itulah jalan yang pas bagi penguasa untuk menghentikan langkah-langkah musuhnya.

Setidaknya, menulis memang menjadi sebuah senjata yang mematikan untuk orang yang mampu memanfaatkannya. Mata Pena memang lebih tajam dari pada Mata Pedang. Maka dari itu, masuk akal jika pram menyebutkan bahwa menulis adalah soal keberanian. Berani untuk memainkan mata pena yang tajamnya bisa melebihi mata pedang.

Sekarang, saya mengalami sendiri ketajaman mata pena itu. Saya menulis sejak belajar jurnalistik saat kuliah dulu. Otodidak memang, tapi yang penting bisa menulis. Hasilnya lumayan. Dari menulis di koran saja bisa untuk menyambung hidup sendirian. Saya berdoa supaya bisa mendapat pekerjaan tetap yang sumber penghasilannya didapat dari cara menulis. Dan Tuhan tampaknya tidak tidur. Doa saya sepertinya didengar, dan jadilah saya seorang peneliti jalanan.

Peneliti tugasnya meneliti. Tapi yang lebih penting lagi, mempublikasikan hasil penelitiannya kepada publik. Itu sebuah keharusan. Peneliti yang berstatus 'asset negara' tentunya melakukan penelitian dengan dibiayai uang rakyat. Maka dari itu, akses publik untuk memperoleh informasi dari hasil yang diteliti merupakan sesuatu yang lumrah dan harus. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti yang sudah menggunakan uang rakyat untuk melakukan pekerjaannya. Di samping itu, hidup mati berkarir sebagai peneliti juga ditentukan oleh publikasi tulisannya.

Berangkat dari kesadaran seperti itu, saya mulai menulis tulisan tulisan ilmiah dari hasil penelitian yang saya lakukan untuk diterbitkan pada media publikasi ilmiah. Saya melakukannya dengan tanpa beban. Justru saya merasa bersyukur, hobi dan kebisaan saya itu bisa menunjang karir dan pekerjaan saya. Selain itu, bisa juga membuka mata publik, bahwa temuan-temuan baru yang ilmiah tentang satu fenomena bisa dinikmati secara gamblang oleh publik. Selama empat tahun bekerja, saya mencatat ada 15 tulisan yang sudah saya publikasikan. Dan itu semuanya merupakan tulisan hasil penelitian dan pencurahan ide saya untuk direkomendasikan kepada publik pemakai. Saya tidak terlalu pusing dengan imbalan honor seperti pada saat menulis ketika kuliah dulu. Saya sudah digaji, tapi saya juga mau menulis.

Persoalanya kemudian, apakah menulis itu masih perlu dikekang?
Egoisme dalam menulis sebenarnya dibutuhkan, meski dalam porsi yang tidak banyak. Jika tidak egois sedikit saja, maka kita tidak akan punya trade mark sebagai penulis. Peneliti bagi saya adalah seorang penulis. Untuk bisa dikenal, idealnya peneliti haruslah menulis. Peneliti dikenal orang secara ideal ya dari tulisan tulisannya. Bukan karena sering kongkow atau menghadiri acara-acara ilmiah yang disitu hanya sebagai peserta saja, dan melobi broker dan meneer meneer kaya untuk mengajukan proposal.

Bagi saya, peneliti haruslah bertanggungjawab terhadap kinerjanya secara mandiri dengan membuat tulisan yang bertujuan agar publik bisa mengakses informasi ilmiah terbaru. Alangkah naifnya, peneliti tidak pernah mempublikasikan laporannya dalam bentuk tulisan ilmiah atau esai di berbagai media. Itu tak lain sama halnya tidak berterimakasih kepada publik / rakyat yang sudah memberikan uangnya untuk penelitian.