Senin, 06 September 2010

Ketika Hutan Dijarah Elite Politik

Oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo*

Memasuki bulan April semestinya kita bisa menyambut peringatan hari bumi yang diperingati setiap tanggal 22 dengan berbagai harapan. Momen hari bumi dapat membuat kita berefleksi, menyusun rencana, dan melakukan aksi untuk memperbaiki kondisi bumi kita yang semain tua dan dipenuhi polusi ini. Alih-alih membuat bumi menjadi lebih nyaman untuk dihuni, awal bulan April tahun ini kita dikejutkan oleh dua berita tentang penjarahan hutan yang menjadi headline di sejumlah media massa. Ironis sekaligus tragis bagi negara yang tahun lalu baru saja sukses menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim di Bali.

Tertangkapnya anggota DPR-RI dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Al Amin Nasution oleh KPK dan aparat kepolisian pada Selasa malam 8 April lalu membuat kita terhenyak. Al Amin ditangkap di salah satu hotel mewah di Jakarta sesaat setelah menerima uang suap dari Sekretaris Daerah Bintan Kepulauan Riau Azirman, senilai 71 juta rupiah. Kabarnya, uang tersebut merupakan down Payment dari total suap yang direncanakan senilai 3 miliar rupiah. Al Amin kini resmi menjadi tersangka dalam kasus alih fungsi hutan lindung menjadi taman rekreasi dan permukiman di Bintan, Kepulauan Riau.

Tiga pekan lalu, Majalah Tempo melaporkan, Tim Gabungan berhasil membongkar jaringan mafia kayu di Ketapang Kalimantan Barat. Di antara oknum yang dicokok terdapat Kepala Dinas Kehutanan Ketapang, Kepala Kepolisian Resor Ketapang, serta seorang calon wakil bupati. Selama bertahun-tahun, jaringan mafia kayu ini bersatu padu menjarah isi hutan Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka terdiri atas para cukong, penebang liar, sejumlah anggota dinas kehutanan, aparat kepolisian, aparat Departemen Perhubungan, dan aparat pemerintah kabupaten setempat.

Tim Gabungan Markas Besar Kepolisian RI dan Departemen Kehutanan memperkirakan kerugian negara akibat tindakan mafia itu mencapai Rp 32,4 triliun per tahun. Jumlah ini setara dengan 26 kali lipat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) periode 2008 Provinsi Kalimantan Barat (Majalah Tempo Edisi: 08/XXXVII/14 - 20 April 2008).

Dua peristiwa itu jelas memukul wajah kehutanan Indonesia. Tak hanya itu, kewibawaan pemerintah dan parlemen menjadi rusak di mata publik. Kita patut bangga terhadap kejelian dan kecekatan aparat penegak hukum dalam menindak para penjarah hutan. Akan tetapi tetap saja kebanggaan itu mampu dikalahkan oleh malu yang didapat akibat tingkah polah oknum elite politik itu.

Ada hal menarik yang bisa dianalisis lebih lanjut terkait dua berita besar soal tertangkapnya elite politik penjarah hutan tersebut. Setidaknya dapat diketahui menurut logika awam (commonsense), saat ini hutan mulai dilirik sebagai komoditas yang dengan mudah dan cepat dapat memperkaya diri bagi para pemegang kekuasaan. Lainnya, terlihat jelas cara pandang terhadap hutan sebagai suatu hal yang dapat dieksploitasi (dijarah) demi memperkaya diri sendiri sudah merembes hingga ke tataran elite politik negeri ini. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (malpower and malauthority) terjadi pada kadar yang sudah memprihatinkan.

Hutan: Konservasi Versus Komodifikasi

Jika melihat fenomena elite politik yang seperti itu adalah lumrah jika muncul pertanyaan “Akankah kita menemukan hutan di Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang?” Pertanyaan itu tampak menggelitik. Akan tetapi pertanyaan itu tentu dirasa perlu untuk diajukan pada saat ini.

Bagi sebagian orang, hutan merupakan sesuatu yang given (ada begitu saja) dan bisa dimanfaatkan demi kemaslahatan bersama. Namun, sebagian yang lain mengatakan, bahwa hutan merupakan komoditas yang dapat menghasilkan tumpukan uang ke dalam pundi-pundi mereka.

Dua anggapan itulah yang secara nyata ada dan berlaku pada kehidupan keseharian kita pada saat ini. Anggapan pertama berpendapat bahwa hutan merupakan sebuah anugerah yang harus disyukuri dan dipelihara keberadaaanya. Anggapan ini menilai bahwa fungsi hutan tak lain sebagai paru-paru bumi, penyimpan air tanah, dan sumber kestabilan ekosistem berbagai makhluk hidup yang ada di dalamnya. Tak heran jika kelompok yang beranggapan demikian kerap menjadikan hutan sebagai sesuatu yang patut dijaga dengan semangat konservasi.

Sedangkan anggapan kedua berpendapat bahwa hutan merupakan sumber penghasil keuntungan secara ekonomi. Hutan dipandang sebagai komoditas yang bisa mendatangkan rupiah demi rupiah (bahkan dolar demi dolar) jika mampu menaklukkannya secara eksploitatif. Anggapan ini seolah membenarkan argumentasi bahwa pada titik ekstrim, eksploitasi hutan secara berlebihan akan membuat orang yang melakukannya menjadi kaya. Hal itu tentu dengan tidak melihat dampak yang kelak muncul dari kegiatan eksploitasi tersebut.

Secara umum, antropolog Kluchohn dan Stodbeck (1961) pernah mengklasifikasi karakteristik masyarakat berdasarkan cara pandang mereka terhadap alam (hutan). Kedua anggapan di atas merupakan bagian dari perihal yang pernah dikatakan Kluchohn dan Stodbeck. Dalam perjalanan peradaban manusia, Kluchohn dan Stodbeck yakin, cara pandang terhadap hutan seperti itu akan terus ada, mengingat masyarakat berisi orang-orang yang selalu memiliki dikotomi pemikiran dan cara pandangnya masing-masing. Dalam masyarakat juga selalu tercipta fraksi-fraksi atau kelompok kelompok dengan kepentingannya masing-masing.

Akan tetapi yang menjadi soal, saat ini fraksi dengan anggapan kedualah yang mendominasi wacana publik dan selalu beraksi dengan tanpa ada rasa takut dan bersalah sedikit pun. Celakanya, fraksi ini berisikan orang-orang yang secara struktur sosial berada di tingkat atas. Mereka memiliki kekuasaan (power), wewenang (authority), dan sebagai pembuat keputusan pula (decision maker). Ini tentu pertanda buruk bagi keberadaan hutan ke depan. Jika orang-orang yang demikian ini tetap berkuasa, tentu kita tak akan dapat lagi melihat hutan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan.

Adalah kabar gembira ketika sanksi yang diberikan kepada elite politik yang terlibat soal penjarahan hutan dicopot dari jabatannya. Dampak yang ditimbulkan dari sanksi itu diharapkan memunculkan efek jera, selain kepada elite yang bersangkutan, juga kepada elite lainnya yang coba-coba ikut bermain dalam bisnis terlarang itu. Meski demikian, efek jera akan lebih ampuh jikalau sanksi yang diberikan tak hanya pencopotan dari jabatan saja. Sanksi kurungan berikut denda untuk menggantikan kerugian negara akibat tindakan mereka patut juga ditimpakan kepada elite nakal itu. Untuk itu, aparat penegak hukum tidak bisa bilang tidak untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.

Kiranya masyarakat tak boleh tinggal diam menyikapi persoalan ini. Mengingat kerugian akibat dampak yang ditimbulkan dari penjarahan hutan tak semuanya dialami negara. Masyarakat pun menjadi korban. Jikalau datang musim hujan, hutan yang rusak akibat dijarah akan menyebabkan air tidak terserap secara baik ke dalam kantung-kantung air di dalam tanah. Akibatnya bisa ditebak, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana alam akan menerpa masyarakat umum, terutama mereka yang berada di sekitar hutan yang dijarah.

Untuk itu, masyarakat kiranya bisa menghidupkan sanksi normatif berupa pencekalan bagi elite politik yang terlibat penjarahan hutan. Bisa saja dengan membuat mosi tidak percaya, atau bahkan memboikot calon-calon pemimpin yang punya track record buruk mengenai hutan. Sanksi dalam bentuk seperti ini menjadi penting dan bermanfaat jika melihat momen pilkada tengah berlangsung di berbagai daerah, akan halnya pilkada Gubernur (pilgub) yang sedang berlangsung di NTT. Pun halnya dengan pemilu presiden dan parlemen yang akan berlangsung tahun depan.

Kasus Bintan dan Ketapang kiranya menjadi peringatan bagi kita semua untuk dapat memilih pemimpin secara bijak. Tak hanya terbuai janji-janji sesaat, tapi tetap mengontrol dan mengingatkan jika mereka melanggar janji-janji mereka sendiri. Akan lebih baik, jika setiap calon pemimpin menandatangani kontrak politik sebagai janji yang mengikat kepada konstituennya, untuk tidak memperlakukan hutan layaknya sapi yang diperah susunya untuk diminum oleh dirinya sendiri []

*Peneliti Sosiologi Kehutanan Pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar