Senin, 06 September 2010

Mengobati Trauma Petani Cendana

Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo*

Kayu cendana memang bukan sembarang kayu. Aroma cendana yang khas membuat banyak orang mabuk kepayang. Tak heran cendana selalu jadi rebutan. Selain bernilai ekonomis tinggi, cendana juga memiliki nilai mistis. Sebuah kisah dari India menceritakan keharuman cendana bisa mengantarkan arwah orang meninggal sampai ke surga. Adalah Mahatma Gandhi, tokoh kharismatik India, yang pada akhir hayatnya meminta mayatnya dibakar bersama tiga ton kayu cendana.

Keharuman cendana tercium sampai daratan Eropa. Kayu inilah alasan utama pelaut Portugis dan Spanyol pada abad 16 menginjakkan kakinya pertama kali di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mengeksploitasi kayu nan wangi ini dan membawa pulang ke negerinya untuk diolah menjadi barang antik, kosmetik, dan obat-obatan bergengsi serta berdaya jual tinggi.

Pemerintah Hindia Belanda tak mau kalah. Ketika berhasil merebut NTT dari tangan Portugis, melalui VOC mereka membuat peraturan khusus mengenai pengelolaan dan tata niaga cendana. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda telah melihat cendana sebagai komoditas yang bisa mengalirkan gulden demi gulden ke dalam kocek Ratu Wilhelmina.

Namun, kejayaan cendana kini tinggal kenangan. Meski masih populer dan menjadi buah bibir banyak orang, secara nyata keberadaan cendana mulai terpuruk. Budidaya cendana mandeg, jaringan pemasaran terbengkalai, dan kehidupan ekonomi petaninya memprihatinkan. Kini sulit sekali mendapatkan kayu cendana dalam jumlah banyak. Kalaupun ada, itu pun cendana dengan kualitas rendah, dan tak jarang ditemukan cendana ‘palsu’ di pasaran. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Benang Kusut Kebijakan

Adalah eksploitasi tak terkendali yang membuat populasi cendana kian berkurang. Darmakusumo et al. (2000) mencatat, berdasarkan survei Dinas Kehutanan Provinsi NTT tahun 1998, jumlah induk dan anakan cendana di Pulau Timor tahun 1997-1998 sekitar 250.940 pohon. Jumlah tegakan ini menurun 53 % dibandingkan survei tahun 1987-1990 sebanyak 544.925 pohon. Catatan yang sama menunjukkan saat ini populasi cendana muda yang berusia jauh dibawah usia panen, sekitar 30-40 tahun, hanya tinggal 17.000 pohon.

Penurunan populasi ini berdampak pada penurunan produksi kayu dan minyak cendana.Ketidakseimbangan antara permintaan pasar yang sedemikian tinggi dengan keterbatasan produksi cendana ini memicu beredarnya produk cendana berkualitas rendah serta cendana palsu. Popularitas dan citra NTT sebagai penyedia kayu cendana terbesar kini terpuruk di dasar jurang karenanya.

Penurunan populasi cendana di NTT bukan melulu disebabkan oleh faktor teknis budidaya, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Justru konflik kepentingan antara pemerintah dan petani cendana serta kebijakan yang berubah-ubahlah yang menjadi sumber masalah. Masyarakat merasa berhak mengelola dan menikmati hasil panenan cendana yang ada di lahan miliknya. Di sisi lain, pemerintah merasa perlu mengatur dan mengontrol populasi dan produksi cendana sebagai komoditas unggulan HHBK (hasil hutan bukan kayu), juga sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang menggiurkan.

Pada sekitar abad X pemanfaatan cendana diatur oleh para raja-raja di Timor melalui ketentuan adat yang disebut “Banu Haumeni”. Aturan adat ini mengatur perlindungan dan perdagangan tanaman cendana. Aturan itu mengatur sangsi berupa denda bilamana ada rakyat jelata yang secara sembarangan menebang, membakar atau merusak tanaman cendana. Denda dikenakan sesuai dengan umur tanaman, biasanya mengganti cendana yang mati dengan kambing atau kerbau. Perdagangan cendana hanya bisa dilakukan oleh raja dan keluarganya. Rakyat jelata dilarang melakukan transaksi sebelum pedagang bertemu dengan raja dan atau keluarga raja.

Di saat Portugis dan VOC memasuki NTT, perdagangan cendana diatur dengan pembagian hasil 2/3 bagian untuk Portugis atau VOC. Sedangkan raja memperoleh 1/3 bagian. Ketika pemerintahan Hindia Belanda berkuasa, peraturan mengenai cendana semakin memberatkan masyarakat. Masyarakat diharuskan memelihara tanaman cendana yang tumbuh dilahannya. Apabila tanaman tersebut mati, maka masyarakat akan didenda. Dendanya tak hanya berupa pembayaran uang, tetapi juga hukuman penjara yang lamanya mencapai 3 tahun (Rahayu dkk, 2002).

Dalam buku Cendana, Deregulasi dan Strategi Pengembangannya (World Agroforestry Centre-ICRAF, 2002) Subekti Rahayu dkk, melukiskan bagaimana inkonsistensi kebijakan pengelolaan cendana ini berlangsung sejak lama. Buku ini mencatat sejak Indonesia merdeka, sudah terjadi 7 kali perubahan peraturan mengenai cendana. Halnya dengan cendana di NTT, kebijakan yang berdampak luas adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT No.16 tahun 1986.

Perda ini mengatur cendana yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam provinsi NTT dikuasai oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan NTT. Sedangkan dari lahan petani, produksi cendana harus dibagi dengan proporsi 15 % untuk petani dan 85% untuk Pemda.

Kebijakan ini menuai badai protes. Proporsi pembagian dipandang tidak adil. Masyarakat yang mempunyai tanaman cendana di lahan milik pribadi maupun tanah ulayat/adat, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, merasa dirugikan. Pemerintah dianggap telah merampas hak milik masyarakat yang sah. Bayangkan saja, ketika masyarakat sudah susah-susah menanam dan memelihara cendana di lahan miliknya selama puluhan tahun, malah harus menyetor hasil panennya hampir sepertiga bagian kepada pihak yang samasekali tak ada andil di dalamnya.

Jelas-jelas sebuah kebijakan yang mengingatkan kita pada sistem Tanam Paksa di Jawa pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dulu. Masyarakat petani cendana dibuat frustasi dengan kebijakan ini. Banyak di antara mereka kemudian memusnahkan anakan cendana dan berusaha mematikan tanaman cendana yang tumbuh liar di lahan miliknya. Sampai saat ini masih ada petani cendana yang mengidap trauma dan menganggap cendana hanya sebagai ‘kayu pembawa petaka’.

Perda No.16 tahun 1986 itu kemudian direvisi oleh Keputusan Gubernur No.2 tahun 1996 tentang kayu cendana. Proporsi pembagian hasil diubah menjadi 40% bagian untuk petani dan 60 % untuk Pemda. Namun ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat sudah telanjur trauma dan kecewa terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap tanaman cendana sudah pupus.

Hingga akhirnya muncul Perda NTT No.2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda No.16 Tahun 1986, yang di keluarkan 26 Maret 1999. Perda ini menyerahkan kepengurusan cendana kepada Pemda Kabupaten. Dengan dicabutnya Perda No.16 tahun 1986 berarti cendana di lahan petani dapat dipanen dan dijual secara bebas oleh petani yang menanamnya. Sedangkan cendana yang dikelola oleh perkebunan pemerintah dipanen sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Perspektif Baru

Pencabutan Perda No.16 tahun 1986 seharusnya mampu memotivasi masyarakat NTT untuk menanam cendana. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Hasil monitoring dan evaluasi Tim Universitas Nusa Cendana (Undana)-Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang dalam kegiatan Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat melalui Budidaya Cendana di Kecamatan Amarasi selama September 2006 hingga Februari 2007 lalu, menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat desa Ponain dan Tesbatan masih trauma terhadap kebijakan Pemda tentang pengelolaan cendana, terutama soal pembagian hasil panen cendana.

Pekerjaan mendesak yang perlu dilakukan sekarang adalah mengobati trauma sekaligus memunculkan kembali motivasi masyarakat untuk mau menanam cendana. Hal itu bisa dilakukan beriringan dengan sosialisasi, atau lebih tepatnya lagi, meyakinkan masyarakat bahwa Perda pembagian hasil panen cendana kini tidak berlaku lagi. Sekarang, masyarakat bisa menanam, memelihara, dan menikmati hasil produksi kayu cendana miliknya sendiri tanpa harus berbagi dengan pemerintah.

Tetapi sosialisasi saja tidaklah cukup. Pelatihan teknologi dan budidaya cendana, pembuatan aturan pengelolaan cendana yang adil dan manusiawi, ada jaminan konsistensi kebijakan, kepastian hak kepemilikan tanaman cendana melalui sertifikasi tanah, penguatan kelompok petani cendana, serta pembuatan jejaring dan aturan tataniaga cendana yang menguntungkan bagi petani cendana, pemerintah dan pengusaha harus dilakukan. Jika semua itu dibenahi, dalam 30-40 tahun ke depan Provinsi NTT akan kembali berjaya sebagai satu-satunya penyedia kayu cendana terbesar di dunia []

*Peneliti Sosiologi Kehutanan Pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar