Senin, 06 September 2010

Revitalisasi Penyuluh Kehutanan di NTT

(Menyoal Implementasi UU.No.16/2006 tentang SP3K)

Oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo*

Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi kerusakan hutan yang marak terjadi belakangan ini adalah melalui pendekatan aspek kelembagaan. Jejaring kemitraan dalam rangka penyelamatan hutan mesti dibangun dengan terencana dan sinergis. Ketika pemerintah hendak memulainya, ada dua hal mesti dilakukan. Pertama, melakukan koordinasi dan komunikasi di tingkat institusi (internal). Kedua, melakukan koordinasi dan komunikasi kepada stakeholders di luar institusi (eksternal). Stakeholders itu antara lain; LSM/NGO, cendikiawan, pengusaha, dan masyarakat di tingkat tapak.

Koordinasi dan komunikasi tingkat internal akan melibatkan berbagai elemen di lingkup pemerintah. Baik struktural maupun fungsional. Secara struktural, pemerintah hendaknya membangun fondasi hukum (legal-formal), mengeluarkan kebijakan populis terhadap penyuluhan, serta membentuk struktur kelembagaan yang luwes bagi hpelaksanaan aksi oleh tenaga-tenaga fungsional.

Secara fungsional, figur personil paling dekat dengan aksi penyelamatan hutan adalah tenaga penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan menjadi ujung tombak dari keseluruhan aksi tersebut. Penyuluh kehutanan tentu bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam upaya penyadaran, pendampingan dan pembinaan kelestarian hutan.

Namun, kenyataannya tenaga penyuluh kehutanan kerap kali lepas dari perhatian pemerintah. Penyuluh tidak secara optimal difungsikan sebagai penyampai pesan (messenger) bagi penyadaran dan pembinaan masyarakat terhadap pelestarian hutan. Tenaga penyuluh justru banyak difungsikan sebagai tenaga non-struktural dan struktural yang bekerja di dalam kantor (bukan di lapangan). Padahal, lewat penyuluhlah pesan kelestarian hutan bisa disampaikan secara maksimal kepada masyarakat.

Implementasi UU-SP3K No.16/2006

Desember 2007 lalu diadakan pertemuan untuk fasilitasi Forum Koordinasi dan Komunikasi Penyuluhan Kehutanan (FKKPK) diinisiasi Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Pertemuan itu dilakukan sebagai tindaklanjut terbitnya Undang-undang No.16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K).

FKKPK-NTT merupakan wadah yang dibentuk untuk mempermudah koordinasi antar penyuluh dan instansi terkait di tingkat Kabupaten, Kota dan Provinsi di NTT. FKKPK-NTT dibentuk pada 2003 dengan tugas melakukan koordinasi penyuluhan kehutanan tingkat provinsi melalui dasar hukum Surat Keputusan Gubernur NTT. Keanggotaan Forum diinventarisasi oleh tiap instansi yang terlibat di dalamnya.

Permasalahan utama yang dihadapi FKKPK-NTT adalah sejak pertama kali forum ini dibentuk belum juga menjalankan tugasnya. FKKPK-NTT vakum sejak 2003 hingga akhir 2007 lalu. Di sisi lain, persoalan yang dihadapi tenaga penyuluh secara personal adalah tidak difungsikannya tenaga penyuluh kehutanan yang sudah ada.

Pada tingkat decission maker, masih terdapat tarik ulur kewenangan soal pembuatan kebijakan antara pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi dalam hal mengatasi permasalahan penyuluhan di NTT. Integrasi berbagai aspek dan sektor penyuluhan tentu sangat diperlukan untuk mengembalikan peran dan fungsi vital tenaga penyuluh dan optimalisasi FKKPK itu sendiri.

UU-SP3K No.16/2006 yang disahkan Komisi IV DPR-RI pada 18 Oktober 2006 sejatinya menjadi payung hukum kuat bagi revitalisasi dan optimalisasi dalam memaksimalkan peran dan fungsi tenaga penyuluh kehutanan. UU-SP3K No.16/2006 dengan sendirinya menjadi titik awal pemberdayaan masyarakat di tingkat tapak, para penyuluh kehutanan PNS, Swasta, dan penyuluh kehutanan Swadaya.

Dalam UU-SP3K tercantum amanat, penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, merupakan hak azasi warga negara Republik Indonesia dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya, sehingga sangat jelas bahwa penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan kewajiban pemerintah dan merupakan hak bagi petani (dikutip dari: www.deptan.go.id/bpsdm/penyuluhan/index.htm, diakses 15 Januari 2008).

Amanat UU-SP3K dapat menjadi landasan kuat bagi penyuluh kehutanan maupun masyarakat di tingkat tapak untuk menuntut haknya soal mengorganisasikan diri dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan serta meningkatkan kesadaran pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Empat Langkah Revitalisasi

Dalam konteks NTT, keberadaan FKKPK-NTT bisa saja dimanfaatkan dengan melakukan revitalisasi kelembagaan agar kinerjanya optimal. Hal yang dapat dilakukan antara lain:

(1). FKKPK Sebagai Organisasi

FKKPK sebagai organisasi akan lebih baik jika tetap berbentuk forum dengan struktur organisasi yang cair. Selain beranggotakan tenaga fungsional penyuluh, personil yang duduk di dalam forum juga melibatkan orang berkompeten, baik kepala instansi (decission maker) maupun masyarakat tingkat tapak dan mitra kerja. Peran bupati dan gubernur akan menjadi spirit yang bisa menstimuli secara positif bagi kinerja FKKPK. Masukan atas berbagai permasalahan, saran, dan solusi dari pihak pemerintah kabupaten atau daerah tapak dapat pula difasilitasi oleh FKKPK.

(2). Aspek Legal-Formal dan Kelembagaan

Dasar hukum FKKPK adalah UU-SP3K No.16/2006. Beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia bahkan telah melakukan implementasi UU-SP3K. Ada Kabupaten yang membentuk Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Tingkat Provinsi yang diketuai Gubernur/Bupati, dipimpin eselon II dan bertanggungjawab kepada Menteri Kehutanan. Akan halnya Kabupaten Sinjai (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur).

Pemerintah Provinsi NTT belum memiliki kelembagaan seperti itu. Padahal sudah ada aturan yang menunjang UU-SP3K No.16/2006, yaitu Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang perampingan organisasi perangkat daerah, termasuk kelembagaan bagi penyuluhan. Dengan demikian, aspek hukum (legal-formal) kelembagaan penyuluh sangat mendasar.

Kelembagaan penyuluh bisa dimasukkan dalam struktur kelembagaan pemerintah dengan landasan UU-SP3K No.16/2006 dan PP No. 41/2007 yang ditata dalam perangkat daerah. Jika begitu, Pemerintah Provinsi NTT hanya tinggal mengaplikasikan saja dengan membuat aturan turunannya.

(3). Tenaga Fungsional Penyuluh

Aspek sumberdaya manusia menjadi hal penting untuk dibahas selanjutnya. Kelengkapan fasilitas dan penguasaan skill menjadi sesuatu yang mesti diperhatikan. Kelembagaan akan terbentuk secara kuat jika ditunjang skill dan fasilitas memadai agar kinerja penyuluh kehutanan menjadi maksimal dan tepat sasaran.

Secara skill, penyuluh kehutanan perlu dibekali kemampuan dan pengetahuan soal pertanian, perikanan dan lain sebagainya. Ini untuk menjawab image dan tingkat pengetahuan masyarakat tingkat tapak yang minim soal profil penyuluh kehutanan. Penyuluh selalu didefinisikan oleh masyarakat sebagai penyuluh an-sich. Masyarakat terkesan tak mau tahu secara spesifik (bidang keahlian) tenaga penyuluh.

Fasilitas dapat ditambah berupa pembangunan stasiun ekstension kehutanan bagi tenaga penyuluh kehutanan untuk mempermudah tugas dan akses penyuluhan kepada masyarakat tapak dan koordinasi dengan pihak terkait. Stasiun ekstension bisa memakai KPRH yang ada hampir di tiap kecamatan.

Di sisi lain, keterbukaan RRI Stasiun Kupang sebagai mitra kerja Pemerintah Provinsi NTT yang siap membantu penyuluhan melalui siaran radio serta menyikapi kebiasaan masyarakat tingkat tapak/desa terpencil terbiasa mendengarkan pesawat radio menjadikan bukan suatu yang berlebihan jika penyuluh difasilitasi pula pesawat radio.

(4). Penyuluh sebagai media sosialisasi hasil penelitian

FKKPK dapat menjadi mitra bagi Balai Penelitian Kehutanan dalam rangka penyebaran hasil penelitian kehutanan berupa informasi mengenai teknologi tepatguna dalam pengelolaan hutan secara lestari kepada masyarakat tapak. Melalui FKKPK, tenaga penyuluh dapat jadi media yang familar dan populer untuk menyosialisasikan dan menyampaikan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Setidaknya, empat hal tersebut dapat menginspirasi kelanjutan FKKPK-NTT ke depan. Hal lain yang mesti dipertimbangkan adalah soal kebutuhan anggaran. Dukungan legislatif (DPRD) NTT sangat diperlukan dalam menggolkan RABPD dengan memasukkan kegiatan penyuluhan ke dalam pos anggaran yang dibiayai pemerintah. Peran mitra (penyuluh swadaya, LSM/NGO) dan pengusaha dalam hal fund rising juga dibutuhkan.

Melalui langkah tersebut kegiatan penyuluhan kehutanan di NTT diharapkan kembali bergairah dan berdampak positif terhadap aksi penyelamatan hutan demi menghindari becana alam yang lebih besar lagi yang menerpa negara kita ini secara umum dan di NTT secara khusus.

*Peneliti Sosiologi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Email: budiyanto_dwiprasetyo@yahoo.com

1 komentar:

  1. Penyuluh adalah salah satu ujung tombak pembangunan yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Penyuluh bukan hanya sebagai pemberi informasi atau guru tapi juga sebagai figur yang harus dicontoh yang dapat menjembatani kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat. jika penyuluh mandul maka selamat datang kehancuran pembangunan. Dan itu tampaknya sudah mulai terasa.

    BalasHapus