Rabu, 22 September 2010

Philosophia


Negasi Mimpi Yang Tak Adil

Semalam saya mimpi, dapat undian berhadiah televisi berwarna 50" lengkap dengan soundsystem sebesar meja makan. Deg degan rasanya mendengar nama dipanggil sang pengundi, supaya diri saya naik ke atas panggung untuk menerima hadiah itu. Lucunya, hadia diberikan tidak secara simbolik, tapi langsung dalam bentuk barang yang sebenarnya.

Saya jadi kebingungan untuk menerimanya. terlebih lagi, pas saya berpikir untuk membawanya pulang ke rumah, saya bingung. Soalnya saya hanya membawa motor mio soul yang mungkin cuma muat kabel-kabel televisi dan soundsistem hadiah itu saja kalau mau dibawa. Kesenangan itu menjadi sebuah petaka buat saya. Karena saya merasa sulit untuk membawa hadiah itu pulang ke rumah.

Saat berpikir keras dan berusaha mengatasi kebingunan, saya tiba-tiba terbangun. Realitas absurd itu hilang dan nyawa saya seolah melompat ke realitas yang sesunggunya. Ada cahaya terang dari samping kanan kamar saya. Ternyata itu cahaya matahari. Saya lihat jam di handphone, alamak... sudah jam setenga delapan pagi.

Itulah mimpi saya. Saya ceritakan mimpi itu di Facebook. Responnya tidak sebagus yang saya bayangkan. Hanya seorang teman jauh saja yang berkomentar. "aminin aja gan, mudah-mudahan tivinya jadi milik" katanya mengomentari status saya di facebook itu.

Tak dinyana, tiba di kantor, saya menjadi most wanted person. Saya diminta menghadap si empunya jabatan tertinggi di kantor. Saya ditegur (lebih tepatnya dimarahi) karena saya dinilai malas untuk datang pagi. Tapi saya tak mengamini marahannya. Soalnya adalah, baru kali itu saya apes, ketangkap basah datang lewat dari jam 9.00 pagi. Biasanya saya ngantor jam 8.00 atau sebelumnya. Mungkin ada alasan lain, sehingga beliau memarahi saya. Dendam kesumat, sebel, atau saya dinilai nyeleneh di mata dia. Tapi biar lah. Toh apa yang dia tuduhkan saat memarahi saya memang sebuah fakta. Untuk kasus hari itu, saya terima dengan lapang, saya salah.

Tapi tuduhan bahwa saya tidak bisa datang lebih pagi dari jam 8.00 untuk bekerja di kantor adalah salah tempat. Saya mengelak dari tuduhan itu. Saya bilang, "saya setiap hari datang paling lambat jam 8.00" kata saya. Karena memang ruangan saya di bagian belakang kantor, saya seperti luput dari pantauan dia. Nah, kalau mau fair, kenapa tidak semua pegawai diperlakukan sama. Banyak pegawai, selain saya, yang hampir setiap hari masuk lewat dari jam 10.00, dan bahkan bolos, tapi tidak dapat teguran.

Saya cuma peneliti jalanan, yang tidak punya kekuatan secara politik untuk mempengaruhi kebijakan. Yang ada di kepala saya hanyalah berkarya dan berkarya. Persetan dengan politik jabatan dan pangkat, yang biasanya dipakai hanya untuk menganiaya orang lain, dan membanggakan dirinya sendiri. Audjubillah minjalik.... Meski beberapa teman, peneliti juga, saya berani prediksi kalau mereka ada yang bermain di jalur itu. Sebisa mungkin, saya menghindarinya sebagaimana saya menghindari api yang menyala ketika saya membalikkan ikan bakar.

Di sisi lain, perbaikan kinerja akan lebih mengena kepada sasaran kalau sistem lembut (soft sistem) seperti soal kebijakan dan aturan diberlakukan dengan jelas. Setelah itu, dibuktikan pula contoh konkret dari pimpinan secara menyeluruh. Baru setelah itu, prajurit akan mengamininya dan menjaganya sampai kiamat. Ini, belum apa-apa sudah marah-marah, padahal dirinya sendiri bilang, nantinya ke depan, kantor akan didisiplinkan maksimal, absen akan ditarik sebelum jam 8.00 pagi. Jadi jangan main-main, katanya.

Yah, itukan nanti, akan, ke depan, sekarang kan belum. Dan kenapa saya yang kena semprot.
Saya cuma ketangkap basah saat itu saja. Dia tidak lihat saya secara menyeluruh. Mungkin karena saya tidak terlalu banyak memberi UPETI sehingga saya menjadi bulan-bulanan layaknya pencopet tertangkap tangan.

Hah... saya cuma menafsir, kalau realitas ini adalah konsekuensi atas negasi dari mimpi dapat hadiah televisi berwarna dan soundsistemnya. Lain kali, kalau saya, atau anda, atau teman anda, bermimpi mendapatkan hadiah yang lebih besar lagi, maka siap-siaplah kena apes sesaat setelah bangun dari mimpi itu. hahaha... Memang agak mitis dan irrasional. Tapi inilah realitas. Faktual. Truth. Silakan anda mencernanya dengan pikiran terbuka.

salam pembebasan.
In God We Trust



5 komentar:

  1. Mimpi memang terkadang menjerumuskan..teringat jaman mimpi indah di sumba, di nina bobokan dengan jabata lurah, fasilitas setumpuk dan kebebasan yang tanpa kontrol..begitu terbangun, gak nyadar teman seperjuangan sudah jauh berlari..terengah-engah mengejar tanpa sedikitpun mimpi yang dibawa..Tapi ya sudahlah, namanya juga mimpi..
    Kehidupan sebagian orang memang penuh standar ganda..orang lain gak boleh, kita mah boleh aja..orang lain harus, kita mah gak wajib..yang lain harus mau dikritik, dia mah gak boleh dibantah..yang lain harus disiplin, temannya boleh seenaknya..Adil memang susah, apalagi untuk orang-orang dekat.., jadi jangan tanya kalo harus adil bagi diri sendiri..Tapi ya sudahlah, semua ada masanya..batre bisa habis strumnya..makanan ada kadaluarsanya..
    Komen pertama. ringan saja. salute buat blognya. mudah2an bukan termasuk dari orang yang dihindari..he.he..

    BalasHapus
  2. Tengs Cak Bro atas Komennya

    Ini adalah baru permulaan. Besok, lusa dan seterusnya, akan hadir tulisan-tulisan yang ga bosen-bosennya berisi kritik, otokritik, berbagi, keberagaman, kebebasa, dan adil sejak dalam pikiran... selamats mengikuti...

    BalasHapus
  3. Kadang suatu temuan hebat bisa berawal dari mimpi atau terbagun saat bermimpi...Tentu kita mengenal pemikir-pemikir besar sepanjang jaman yang saya maksudkan.. Namun realitas bangsa kita sepertinya tidak lebih sekedar orang yang tak mau bangun dari tidur tapi tak terlelap dalam mimpi... idealisme yang semu dan sesungguhnya tak lebih dari buaian kehidupan dunia yang membutakan mata, hati dan fikiran adalah yang kemudian dipercaya sebagai bentuk-bentuk keadilan, kebenaran, kebaikan atau bahkan yang paling parah adalah sebagai justifikasi keTuhanan...

    BalasHapus
  4. @Niten Bharata:
    Mimpi memang selalu membuat saya takjub gan. Sigmund Freud pernah menganalisa mimpi yang ditulis dalam buku The Interpretation of Dream gara-gara saking penasarannya dia terhadap hal gaib yang mampu menggerakkan manusia secara psikologis menuju tindakan nyata. Mimpi juga yang bikin Freud membelok arah, dari seorang psikolog biologi, ke psikososial, yang kemudian dikenal dengan psiko analisa. Mimpi menurutnya adalah aktualisasi alam bawah sadar manusia, yang tidak bisa meluap ke permukaan pada saat manusia dikuasai alam sadarnya. Pada mimpi itulah, manusia menemukan realitas kebenarannya, bahwa apapun yang diinginkan secara apriori bisa terealisasi secara puas.

    Sekarang, tinggal kita mau pake yang mana. Mimpi versi bung Niten, atau versi Freud? Pilihan bebas belaku dalam forum ini.

    BalasHapus
  5. Forum yang sangat menarik. Membuka pemikiran bahkan berawal dari hal yang sangat abstrak...Mimpi...Saya coba merenungkan kembali semua mimpi. Saya telah lama tertarik untuk beranjak dari sesuatu yang menurut pandangan kita atau mungkin orang di sekitar kita kadang adalah sebuah mimpi. Tidak ada salahnya mencoba mewujudkan mimpi-mimpi indah, meskipun bahkan untuk sedikit mimpi indah tentang sedikit keadilan dan hati nurani, ternyata tantangannya luar biasa besar. Berjuang untuk sedikit rasa keadilan harus disertai kesiapan untuk merasakan ketidakadilan dan berjuang untuk sedikit membuka hati nurani harus siap untuk merasakan bahwa tidak ada hati nurani di sana dan harus siap pula mendapatkan kepedihan terdalam di dalam hati. Namun itulah indahnya hidup jika dimaknai sebagai penerimaan kita terhadap ketulusan berjuang untuk sebuah mimpi.

    BalasHapus