Senin, 06 September 2010


Aksi Penanaman Pohon Jangan

Sekadar Jargon

Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo*

Pada 28 November 2007, pemerintah pernah lakukan Aksi Penanaman Serentak Indonesia di Desa Cibadak, Tanjungsari, Bogor. Saat itu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, telah rekapitulasi hasil Penanaman Serentak Indonesia tersebut hingga bulan Juni 2008 dengan jumlah 86,9 juta pohon dari target semula sejumlah 76 juta pohon. Sedangkan pohon yang ditanam dalam aksi Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon adalah 14 juta pohon dari target 10 juta pohon. Kedua aksi penanaman tersebut dinilai berhasil lantaran mampu melebihi jumlah pohon yang ditargetkan untuk ditanam. Keberhasilan itu diapresiasi pula oleh United Nation Environment Programme (UNEP) dengan memberikan penghargaan International Certificate of Global Leadership kepada pemerintah Indonesia.

Bak gayung bersambut, pemerintah menyikapi keberhasilan aksi penanaman itu dengan menjadikan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Nasional. Tak hanya itu, bulan Desember pun kemudian dikukuhkan sebagi Bulan Menanam Nasional. Penetapan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia (Kompas, 11 November 2008). Namun demikian, penanaman pohon dapat pula dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya sesuai dengan kondisi iklim dan curah hujan setempat, seperti halnya dilakukan Menteri Kehutanan, MS Kaban, dalam kegiatan Pencanangan Penanaman Cendana di Desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 15 Februari 2009. Aksi penanaman Cendana oleh Menteri Kehutanan tersebut dilakukan pada saat NTT mengalami curah hujan yang cukup guna menyiasati kondisi iklim semi arid.

Berbagai aksi penanaman tersebut merupakan momentum strategis bangsa Indonesia dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta kerusakan lingkungan lainnya yang mengakibatkan penurunan produktivitas alam dan kelestarian lingkungan. Selain itu, aksi penanaman pohon juga dapat meningkatkan kepedulian semua pihak tentang pentingnya menanam dan memelihara pohon secara berkelanjutan.

Secara makro-politik, penanaman pohon dapat mengurangi dampak pemanasan global dan mencapai pembangunan Indonesia yang bersih sesuai prinsip Clean Development Mechanism (CDM). Sedangkan secara mikro-teknis, bertambahnya jumlah pohon tentu dapat tingkatkan absorbsi gas CO2, SO2, dan polutan lainnya. Dari aspek lingkungan, tak hanya dapat mencegah banjir, kekeringan, dan tanah longsor, akan tetapi juga bisa meningkatkan upaya konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan. Dari segi sosial, aksi penanaman pohon dapat menggugah dan menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat untuk mau memulai menanam dan memelihara pohon. Kesadaran masyarakat yang kemudian muncul diharapkan dapat membangun cara berpikir (mindset) ramah lingkungan yang melekat di kehidupan sehari-hari.

***

Dalam sebuah talk show dalam rangka peringatan Hari Menanam Pohon 2008 di TVRI pada 25 November 2008 malam, Menteri Kehutanan MS Kaban menjelaskan, berbagai aksi penanaman pohon yang dilakukan pemerintah adalah salah satu upaya untuk menciptakan momentum bagi bangsa ini agar bisa secara bersama-sama menyelamatkan hutan Indonesia. Meski pemerintah telah berupaya maksimal mengurangi kerusakan hutan, akan tetapi kunci keberhasilannya tetap saja ada di tangan semua elemen masyarakat.

Maka dari itu, target utama dari berbagai aksi penanaman pohon hendaknya tak hanya ditujukan pada aspek biofisik saja (pengurangan lahan kritis dan menambah tutupan lahan). Akan lebih efektif apabila target tersebut juga membidik manusia Indonesia sebagai subyek sasaran. Hal ini menjadi penting lantaran manusia merupakan penyumbang terbesar bagi angka hilangnya hutan di Indonesia.

Aktivitas segelintir manusia dalam penambangan di kawasan hutan, maraknya illegal logging, dan perladangan berpindah yang berkelanjutan merupakan causa prima yang paling menonjol dalam merusak hutan. Aktivitas itu sudah barang tentu dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan tanpa berpikir panjang dan menyeluruh. Keuntungan ekonomi yang didapat dari aktivitas tersebut sangat tak sebanding dengan ongkos sosial (social cost) yang ditimbulkannya.

Social cost yang membengkak akibat perusakan hutan secara mudah bisa ditunjukkan melalui banyaknya jumlah masyarakat yang menjadi korban akibat bencana banjir dan longsor yang frekuensinya terus meningkat setiap tahunnya di hampir seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat korban bencana tentu tak sepeser pun menerima keuntungan dari aktivitas pengusahaan hutan ilegal oleh oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut. Jumlah masyarakat yang menjadi korban bencana secara otomatis lebih banyak ketimbang jumlah pihak yang menangguk untung dari pengusahaan hutan ilegal.

Minimnya kontrol pemerintah dan lemahnya penegakan hukum aparat dinilai banyak pihak sebagai pemicu maraknya aktivitas perusakan hutan. Di sisi lain, oknum pemerintah dan wakil rakyat yang korup merupakan aspek lain yang memperparah kerusakan hutan di Indonesia.

Kita tentu masih ingat skandal kongkalingkong antara anggota DPR RI, Al Amin Nasution dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Azirwan di awal April 2008 lalu. Kedua pejabat publik itu digerebeg Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat hendak berbagi uang jatah atas lolosnya izin pengalihan fungsi hutan lindung menjadi taman rekreasi dan permukiman di Bintan Kepulauan Riau. Kasus tersebut hanyalah puncak dari gunung es berbagai kasus kehutanan yang ada.

***

Aksi penanaman dan pemeliharaan pohon yang dicanangkan pemerintah setidaknya merupakan upaya untuk memunculkan antitesis atas persoalan kehutanan tersebut. Jikalau hanya sekadar aksi, penanaman pohon akan selesai dalam beberapa jam saja ketika kegiatan seremonial usai dilakukan. Akan tetapi, apabila aksi penanaman tersebut diterjemahkan sebagai sebuah momentum bagi langkah awal penanaman pohon oleh segenap elemen bangsa serentak dan berkesinambungan, tentu memerlukan cara yang rasional dan mengakar di masyarakat itu sendiri.

Pemerintah mesti mengambil langkah awal yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mau menanam dan memelihara pohon. Tentu tidaklah mudah menggugah kesadaran seseorang. Perlu pendekatan jitu, kesabaran, serta waktu yang panjang untuk merealisasikannya. Penetrasi sebuah gagasan untuk bisa diimplentasikan di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati. Pendekatan sosiologis merupakan alternatif pilihan yang patut dilakukan. Soerdjono Soekanto (2001) menjelaskan, pendekatan sebuah gagasan akan lebih efektif dilakukan secara damai (penetration pasifique) ketimbang lewat kekerasan (penetration violence).

Pentration Pasifique pernah dilakukan penjajah Belanda di awal kedatangan mereka untuk menaklukkan Hindia Belanda di abad XVI. Belanda dengan sabar, ulet, dan telaten selalu mempelajari seluk-beluk calon negeri jajahannya. Adalah seorang Snouck Hurgronje yang mampu memberikan laporan secara brilian kepada Ratu Wilhelmina mengenai kondisi sosio-antropologis manusia-manusia di bumi Hindia Belanda. Berbekal laporan Hurgronje itulah, Belanda dengan mudah memoroti hasil bumi Hindia Belanda selama tiga setengah abad lamanya.

Sejarah memang guru yang bijak bagi semua bangsa. Hal baik yang bisa dipetik dari peristiwa itu adalah upaya Hurgronje untuk melakukan studi sosio-antropologis terhadap manusia-manusia yang ada di Hindia Belanda. Studi itu kemudian mempermudah Belanda untuk menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Berkat studi tersebut, Belanda menjadi tahu karakteristik, sifat, watak, kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku. Pengetahuan sosio-anthropologis tersebut merupakan pintu gerbang bagi Belanda untuk bisa menjajah Hindia Belanda. Ideologi dapat dengan mudah dipenetrasi ke dalam sebuah bangsa dengan tanpa bangsa tersebut merasa terjajah di masa-masa awal.

Peristiwa tersebut setidaknya dapat menjadi cermin bagi upaya membangun kesadaran bangsa ini untuk mau menanam pohon. Pembangunan kesadaran (constructioning of consciousness) di masyarakat jangan semata-mata dilakukan hanya karena telah ditetapkannya tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Nasional dalam sebuah Keppres. Itu hanya akan menghambur-hamburkan anggaran dan tenaga. Terlebih lagi menjelang Pemilu 2009, hendaknya pembangunan kesadaran di masyarakat jangan pula dikaitkan kepada orientasi politik.

Pembangunan kesadaran masyarakat untuk menanam pohon hendaknya dilakukan sebagai aksi yang mengakar secara sosio-antropologis. Artinya, masyarakat mesti paham dan mengerti betul apa yang dilakukannya secara rasional. Di sisi lain, pemerintah sebagai fasilitator diharapkan memiliki political will untuk mau memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Dalam melakukan pembangunan kesadaran masyarakat untuk menanam pohon, pemerintah dapat menggunakan pendekatan penetration pasifique. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan pemerintah saat melakukan penetration pasifique.

Pertama, pemerintah mesti lebih terbuka dan tidak membatasi jenis pohon, cara menanam dan memelihara pohon. Hal itu diserahkan kepada masing-masing daerah. Mengingat, daerah di Indonesia memiliki karakteristik biofisik dan keanekaragaman hayati yang berbeda-beda. Lain dari itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas petani tentu mempunyai kearifan lokal yang merupakan kemampuan mendasar dalam hal menanam pohon.

Kedua, pemerintah tidak boleh berhenti hanya pada titik seremonial tanggal 28 November saja. Melainkan mesti terus-menerus melakukan aksi penanaman, kampanye dan sosialisasi mengenai arti penting menanam pohon bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Termasuk terus menghimbau masyarakat agar memelihara pohon yang sudah ditanam.

Ketiga, alangkah baiknya jika pemerintah menjadikan berbagai aksi penanaman pohon tersebut sebagai langkah awal bagi terbentuknya sebuah gerakan budaya (cultural movement). Hal ini bisa dilakukan apabila pemerintah telah berhasil membangun kesadaran masyarakat untuk menanam pohon. Maka dari itu, gerakan budaya tak bisa dilakukan secara mendadak dan terburu-buru. Melainkan perlu waktu, kesabaran, ketelatenan, serta konsistensi dalam mewujudkannya.

Satu lagi yang perlu dicatat adalah pentingnya menyelamatkan mindset generasi muda dari pola pikir yang tak ramah lingkungan. Caranya antara lain dengan melakukan penetrasi melalui sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang berperan penting dalam membentuk karakter dan mindset generasi mendatang. Memasukkan materi pendidikan lingkungan (dikling) sebagai salah satu mata pelajaran di semua jenjang pendidikan sekolah menjadi pilihan strategis. Pemerintah mestinya bisa mengkoordinasikan Departemen Kehutanan dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk mewujudkan hal tersebut.

Maka dari itu, sudah semestinya aksi penanaman pohon tidak lagi hanya sekadar jadi jargon pemanis pada seremonial sebuah kegiatan. Aksi penanaman pohon adalah titik awal bagi terwujudnya gerakan penanaman pohon oleh segenap elemen bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan. Dengan begitu, bukan merupakan sesuatu yang mustahil, hutan Indonesia yang lestari dan masyarakat sejahtera berwawasan lingkungan bisa terwujud. []

1 komentar:

  1. Aksi menanaman bila dipandang dari segi ekonomis sesungguhnya adalah sebagai ladang bagi kegiatan bagi-bagi uang yang tak terkendali dan tidak terukur keberhasilannya. 6 trilyun telah dikucurkan dan akan ditambah lagi dengan 3 trilyun tahun 2010 ini. tapi kenapa sekarang dana itu belum terserap tidak seperti 2 tahun lalu? Itu adalah karena ketakutan terhadap kpk dan para bodygard anti korupsi yang sudah semakin buas.

    BalasHapus